Oleh Ust.Rahmat Abdullah
Merendahlah, engkau kan seperti bintang-gemintang
Berkilau di pandang orang
Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi
Janganlah seperti asap
Yang mengangkat diri tinggi di langit
Padahal dirinya rendah-hina
Alangkah nikmatnya dicintai dan mencintai, dipercaya dan mempercaya, Alangkah mengharukannya dukungan rakyat yang tanpa pamrih. Kadang mereka lebih galak membela kita daripada kita yang mereka bela. Rakyat bisa datang berjalan kaki bermil-mil, dalam panas dan haus. Untuk apa mereka begitu antusias ? Apa jaminan caleg dan jurkam yang berjanji memperjuangkan nasib mereka ?
Dukungan ini tak lepas dari realita yang mereka temukan dalam kehidupan para kader di pelbagai medan kehidupan. Yang komitmen kerakyatannya tak teragukan. Yang kepekaannya terhadap nasib mereka selalu hidup dan tajam. Yang tertempa oleh ke-ikhlasan dan kesabaran sehingga tak tergiur oleh iming-iming dunia, KKN atau berbagai tekanan, ancaman atau godaan. Kecuali bila Anda adalah sekian dari sekian kekecualian, penumpang gelap di gerbong atau lok keadilan.
Akan teruskah dukungan berdatangan, ataukah seperti penumpang bus yang silih berganti dan berbeda kepentingan atau turun dengan penuh umpatan penyesalan ? Demikian mengharukan dukungan datang. Tetapi awas, tiba-tiba ia dapat berubah menjadi taufan dan amuk balik yang mematikan.
Rakyat terlalu lelah untuk bisa memahami tokoh partai, kiayi muda atau aleg yang takut mengunjungi mereka, karena harus berhati-hati jangan sampai kemeja mahalnya ternoda debu di gubug mereka. Atau pantalonnya lusuh karena duduk diatas bangku reot di warung mereka. Atau nafasnya sesak duduk di rumah mereka yang kecil dan kurang udara. Atau jangan sampai mobil hasil dukungan rakyat tergores di gang sempit tempat domisili mereka. Rasanya terlalu mewah untuk bermimpi kapan pemimpin yang mereka dukung mengikrarkan (dan mem-buktikan), “Bila Anda perlu mengangkut keluarga yang sakit di tengah malam buta, silakan ketuk pintu dan kami akan antar ke rumah rawat”. Mereka tak punya cukup keberanian untuk menyeruak rumah baru para pemimpin yang sudah serba mewah. Mereka pun tak cukup mengerti bahwa ada (isteri) sesama kader juga saling menunggu, kalau-kalau tetangga yang sukses dengan dukungan kita mau ‘melempar’ mesin cuci butut atau kompor bekas yang sudah berganti dengan produk paling mutakhir, atau membeli tambahan buku saat anak-anak mereka berbelanja, untuk teman sekelas atau anak tetangga lainnya.
Kader Pra Pemilu
Banyak kader tahan berbincang berjam-jam dengan rakyat jelata, kuli bangunan dan pengangguran, saat ia masih sama-sama miskin. Ia bisa dengan lahap menenggak su-guhan teh panas di gelas mereka yang sederhana atau melahap sepotong dua tempe yang mereka goreng diatas perapian kayu bakar atau kompor minyak yang selalu me-nyimpan ancaman terselubung untuk meledak kapan-kapan waktu. Ia masih punya frekuensi dan gelombang setara untuk saling berbagi suka dan duka. Yang membedakan mereka mungkin satu, rakyat tak punya lidah yang cukup sistematis dan tidak punya saluran yang memadai untuk mengalirkan aspirasi dan sang kader punya ‘sistem’ untuk mengusung aspirasinya lewat saluran-saluran yang banyak dan lancar. Saluran itu adalah suara rakyat, keikhlasan mereka memilih dalam pemilu dan husnuzzhan yang luar biasa tingginya !
Apa yang diharapkan rakyat dari dukungan mereka ? Ingin jadi anggota parlemen ? No way ! Mau jadi pejabat tinggi di partai atau di birokrasi ? Tak mimpi, lah. Begitu tulus harapan mereka ; agar kebenaran dan keadilan bisa tegak di tangan para kader yang akrab dan beradab, bersih dari KKN dan fasih membacakan ayat-ayat kebenaran serta lantang mempidatokan gagasan-gagasan, janji-janji dan gugatan-gugatan. Mereka punya basic insting yang murni untuk mendukung siapa yang jujur, asal dekat, terjangkau dan meyakinkan.
Terlalu rumit mencerna teori-teori politik dan paradigma da’wah, kecuali para kader telah menyajikannya dengan pendekatan yang membumi. Otak mereka terlalu sarat beban hidup, sehingga pilihan yang mudah diingat ialah wajah yang sering datang pergi, lancung atau pendustakah mereka.
Disini demokrasi menjadi mesin culas orang-orang yang ingin meraih kekuasaan dengan cara-cara licik. Partai dominan membiarkan kemiskinan untuk pada saatnya ditukar dengan suara murah di bilik pemilu. Partai mitos sengaja merawat kebodohan dan memupuknya dengan berbagai mimpi kewalian, kekeramatan dan kemenangan agar rakyat tetap mendukung dan tak menggunakan nikmat akal yang begitu mahal.
Rakyat Pasca Pemilu
Kecuali dari kelompok pengejar kedudukan – seperti bandar-bandar judi, bandar bakso atau pemulung yang menjadi aleg dengan membeli kursi itu dari partainya dengan tarif ratusan juta rupiah – selebihnya rakyat adalah rakyat. Yang nasib mereka terus bergulir. Naik turun dalam kehidupan. Dengan gubug yang semakin rapuh, tergusur atau menjadi gedung, anak yang semakin banyak tuntutan dan status yang selalu diatasnamakan.
Terkadang muncul penyimpangan pertumbuhan seksual anak-anak, karena kondisi rumah yang tak kondusif bagi pendidikan. Harta habis untuk menebus anak yang di tangkap polisi atau memasukkan anak-anak ke panti rehabilitasi mangsa narkoba.
Yang hanif tetap dengan harapan-harapan yang entah kapan dapat terwujud. Hal yang tak berubah dari mereka; dukungan.
Mereka sangat sederhana dan tidak mengada-ada. Bila mereka mulai kecewa terhadap partai-partai atau petinggi-petinggi partai atau apa saja komentar bisa sangat getir:
- “Ah, lehernya sudah tak bisa menoleh ke gubug kami lagi”
- “Kerongkongannya sudah tak bisa dilewati gorengan singkong kami”
- “Mereka orang-orang steril, alergi ketemu rakyat”
- “Ah, kita kan cuma tangga, sesudah mereka menginjak-injak punggung kami, ya sudah, tinggal senang-senang saja”
- “Dulu, waktu masih perlu dukungan suara untuk Pemilu mereka sering datang, sekarang 3 lebaran lewat, la salam wala kalam”
- “Dulu sih, kita masih berharap. Sekarang, apa bedanya dengan partai lain. Kadernya sombong-sombong”
- “Apa yang berubah, suaranya di parlemen: sepi, sepi, sepi ! Yang kita dengar ramai, itu klakson mobil mengkilapnya. Pakaian isterinya makin gemerlap. Mainan anaknya makin norak. Sudah itu mobil dinas dipakai nganter anak. Ngomongnya dulu Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu karena tamunya tamu pribadi”
Kedekatan adalah Bahasa Paling Fasih
Tidak benar rakyat senang betul melihat para pemimpin lapar dan miskin. Ya, roman-tisme siapa saja bisa terpanggil oleh kebersahajaan dan kesederhanaan, terlebih bila itu keluar dari diri dan keluarga kader, pemimpin dan da’i.
Tidak perlu buang energi, berkerut wajah dan berbusa mulut untuk meredam suara-suara begini. Mereka hanya memerlukan keakraban, kebersahajaan dan kesederhanaan, lalu berbagai prasangka segera menguap.
Bukan pergelaran dendam kemiskinan, lagak pahlawan kesiangan atau pura-pura peduli. Mereka siap dibohongi asal nampak logis.
Tetapi itu mustahil, kecuali Anda memang dilahirkan untuk berbohong. Banyak orang panik menghadapi kritikan yang sebagiannya memang berbukti, sebagiannya harapan dan selebihnya ‘kenaifan’ analogi sejarah.
Bagaimana mungkin pemimpin disuruh pergi berkeliling negeri malam-malam untuk mengintai ibu-ibu yang menggodog batu, agar anak-anaknya tenang ?
Kini di siang hari mereka telah menggodog kucing, untuk ‘menenangkan’ mereka. Kadang naluri ‘birokrat’ bekerja dengan jawaban-jawaban oral yang sengit dan apologik, padahal jawabnya tersimpan dibalik kerendahan hati dan kepekaan sosial kader.
[pks.or.id]
Oleh : Helvy Tiana Rosa
Seperti film yang diputar dalam gerakan-gerakan lambat, begitulah saya melihat diri ini tujuh belas tahun lalu.
2 April 1988, saya duduk di kelas II SMA, hampir naik kelas III.
Siapa saya? Remaja yang mencari jati diri. Di kelas saya selalu ranking. Saya aktif di teater, pramuka, paskibra dan mengelola majalah dinding. Pergi ke sekolah tiga hari mengenakan rok dan tiga hari lainnya mengenakan celana panjang abu-abu. Saya sering diminta mewakili sekolah dalam berbagai lomba pidato, lomba baca puisi dan kontes debat. Berani, tak bisa diam, cuek, sebagaimana remaja pada umumnya. Di luar sekolah saya sempat ikut karate dan paduan suara, meski tak begitu sukses.
Bagaimana pandangan saya terhadap Islam? Sekadar agama yang baik. Tentu bangga (Hai, saya seorang muslimah!). Tapi anehnya saya tak pernah sholat, kecuali saat sedih. Saya pun tak bisa membaca Al Quran. Bisakah Anda bayangkan dalam usia 18 tahun saya belum juga bisa membedakan huruf ba dan nun?
Panjang kalau saya ceritakan apa yang terjadi saat itu. Intinya saya menghadiri pengajian dan membaca terjemahan Al Quran. Sepintas tak ada yang istimewa. Tapi menjadi menyentuh ketika Anda tahu, itulah kali pertama saya mengaji dan untuk pertamakalinya dalam hidup saya membaca Al Quran terjemahan! Pada usia 18 tahun!
Pulang dari pengajian tersebut, hari itu juga saya bertekad langsung mengenakan jilbab.
“Lo gila ya, Vy. Lebih revolusioner dari gue! Lo pikirin dong mateng-mateng. Solat aja jarang, ngaji nggak bisa, kenal Islam di jalan, trus sekarang lo mau pakai jilbab? Ha ha ha apa kata dunia?” kata Heidy, sahabat saya sang Ketua Osis.
Saya tak peduli. Masih menitikkan airmata mengingat kajian senja itu.
“Modal kita kan rambut, Vy. Nah kalau ntar pakai jilbab, muka kita jadi aneh. Tembem! Belum lagi ntar susah dapat kerjaan, susah dapat cowok. Gila aja lo!” sambungnya lagi. “Ya gue juga mau pakai jilbab. Tapi ntar kalau gue udah tualah. Allah kan Maha Pengertian. Yang penting kita jilbabin dulu nih, hati kita!”
Saya menatap Heidy lama. “Emang Gue pikirin? Maha Pengertian? Gue juga tahu. Nah kita pengertian nggak ama peraturan Dia? Memang siapa yang majikan siapa yang hamba sih? Kalau gue keburu mati gimana?"
Heidy nyengir. Terdiam sesaat. “Ya terserah lo deh!”
Dalam perjalanan pulang saya teringat tentang sikap saya selama ini pada para jilbaber di sekolah. Ya Allah, betapa teganya saya! Mereka bahkan sering menyingkir dari jalan yang saya lalui, hanya karena khawatir saya menyapa mereka dengan julukan “nona lemper” atau “nona lontong.”
Begitulah, pulang saya langsung mandi, mengenakan baju dan rok panjang pemberian seorang teman di pengajian. Saya pergi ke rumah Nuraida, teman sekolah berjilbab yang pernah saya panggil “nona lemper” juga. Dia ternganga membuka pintu rumahnya, lalu mengajari saya memakai jilbab. Tiba-tiba saya merasa begitu damai.
“Gue jadi jelek banget ya, Da, pakai jilbab begini?”
Ida memandang saya dengan mata kaca. “Nggak apa, Vy, jelek di mata manusia. Yang penting cantik di mata Allah…,” katanya seraya memeluk saya.
Tentu saja banyak yang berubah setelah saya berjilbab. Saya mencoba untuk menghias diri dengan ahlak karimah. Menyelaraskan tingkah laku saya dengan pakaian mulia ini, meski kata orang, kalau jalan masih saja “gagah.” Sementara sekolah gempar, orang rumah tak percaya.
Perlahan tapi pasti saya tambah terus wawasan keislaman saya. Tiada hari tanpa mengkaji! Saya juga mulai mengisi kajian keislaman untuk anak-anak SMP dan teman-teman SMA. Andis (anak disko), abas (anak basket), ater (anak teater) dan teman-teman saya yang lain tidak saya lupakan. Saya rangkul mereka, saya ajak untuk bersama lebih mengenal Islam. Saya tak menyangka. Sungguh hidayah Allah ketika satu persatu dari mereka akhirnya mulai berjilbab, termasuk Heidy.
Mulanya tak ada halangan berarti. Tapi kemudian muncul peraturan baru dari Depdikbud: Dilarang mengenakan jilbab di sekolah!
Saya dan teman-teman—termasuk Heidy sang Ketua Osis—bangkit menentang. Tapi kami harus berhadapan dengan kekuasaan pemerintah bernama Depdikbud itu! Kami terancam dikeluarkan. Setiap ada inspeksi mendadak dari dinas pendidikan, kami bersembunyi di WC sekolah. Saya bahkan pernah masuk kelas lewat jendela, karena sudah dihadang di depan gerbang!
Akhirnya kami boleh pakai jilbab di lingkungan sekolah, tapi kalau di kelas harus dibuka. Huh, sebuah peraturan yang sungguh aneh bukan? Apa kerugian mereka kalau kami pakai jilbab di kelas? Kok mereka yang kegerahan? Pikir saya. Dan dasar bandel, saya dan Heidy tetap tak mau buka jilbab di kelas, meski sekitar 25 teman lainnya terpaksa melakukan. Sebab bila tidak menurut, kami tidak boleh ikut Ebtanas. Saya dan Heidy tetap ikut Ebtanas, tapi semua soal hanya kami kerjakan dalam setengah jam (kebayang nggak sih?). Ya soalnya setelah setengah jam itu ada inspeksi jilbab ke kelas-kelas! Makanya saya bersyukur, meski semua soal saya kerjakan dalam setengah jam, saya tetap bisa diterima di UI.
Alhamdulillah saya bersyukur hingga hari ini saya masih berjilbab.
Mungkin ada di antara sahabat yang berpikir, mengapa orang seperti Helvy---yang ‘geradakan’ ini---tiba-tiba bisa memutuskan untuk berjilbab?
Jawaban paling tepat saya rasa adalah: hidayah. Karunia sekaligus misteri Illahi. Saya mendapatkannya! Dan saya bertekad menggenggamnya terus sampai akhir masa!
Kemarin, setelah mewawancarai Ayu Utami, sebuah stasiun televisi mewawancarai saya mengenai hakikat perempuan. Sang reporter juga menanyakan alasan saya mengenakan jilbab.
Nah, di bawah ini beberapa alasan saya mengenakan jilbab:
Pertama, karena perintah Allah di dalam Al Quran, surat Al Ahzab; 59 dan Surat An Nuur: 31.
Kedua, karena jilbab menjadi identitas utama bagi muslimah. Di mana pun kita berada bila kita mengenakan jilbab, kita dikenali sebagai muslimah (masih merujuk QS Al Ahzab; 59).
Ketiga, dengan mengenakan jilbab, muslimah lebih aman karena tidak diganggu. Pria lebih tertarik menggoda dan melakukan pelecehan seksual pada perempuan yang memakai pakaian you can see (everything?). Biasanya perempuan berjilbab justru sering disapa dengan salam (Assalaamu’alaikum) atau dengan perkataan: “Mau kemana, Bu Hajii?” (malah didoakan, amiin).
Keempat, dengan mengenakan busana muslimah, kita menjadi lebih merdeka dalam arti sebenarnya. Contoh kasus: saya kasihan sekali kalau melihat rekan perempuan yang memakai rok mini, naik kendaraan umum. Dalam kendaraan ia akan sangat gelisah dan berusaha menarik-narik rok mininya terus untuk menutupi pahanya. Kadang gelagapan menutupi bagian tersebut dengan tas kerjanya. Sangat tidak nyaman. Dengan mengenakan busana muslimah, kita bisa duduk dengan santai dan leluasa.
Kelima, dengan berjilbab, kita merdeka dari pandangan orang yang mengukur kita dari fisik semata. Kita tak lagi diukur dari besar kecilnya betis, pinggang atau bagian tubuh kita lainnya. Orang akan mengukur kita semata dari kebaikan hati dan kecerdasan kita.
Keenam, dengan berjilbab maka kontrol ada di tangan perempuan, bukan pria. Perempuan bebas mengontrol dan menentukan pria mana yang boleh atau yang tidak boleh melihatnya.
Ketujuh, bagi seorang gadis, dengan berjilbab pada dasarnya ia sudah melakukan proses seleksi terhadap calon suaminya kelak. Bukankah hanya pria baik-baik dan memiliki wawasan keislaman memadai yang berani melamar gadis berjilbab?
Ke delapan, jilbab tak pernah menghalangi muslimah untuk maju dalam kebaikan. Sejarah mencatat banyak perempuan agung di masa nabi SAW dan sesudahnya. Mereka mempunyai beragam profesi, berbagai kiprah dalam masyarakat dan prestasi yang tak pernah berhenti, sampai di medan perang sekali pun---tanpa pernah menanggalkan jilbab mereka.
Tentu saja jilbab bukan menjadi satu-satunya indikator ketakwaan seseorang. Tetapi jilbab menjadi salah satu realisasi amaliyah dari keimanan kita (iman harus dibuktikan dengan amal bukan?). Dan pada akhirnya amal tersebut akan menunjukkan sisi ketakwaan kita.
Jadi, mengapa harus takut dan ragu untuk berjilbab? Berani dong! ;)
Helvy Tiana Rosa
* Dosen Fakultas. Sastra Univ. Indonesia
* Pembina Forum Lingkar Pena (Wadah penulis dg ribuan anggota di Indonesia dan luar
negeri)
Dengan berbagai kendala, akhirnya produksi film Sang Murabbi dapat dijalankan pada Selasa (25/3/2008). Syuting perdana dilakukan di kawasan Setu, Jakarta Timur. Lokasi ini dipilih karena memiliki kemiripan dengan situasi Kuningan, Jakarta Selatan, pada era 70-an akhir dan 80-an. Film yang disutradarai oleh Zul Ardhia ini juga akan mengambil lokasi di wilayah lain seperti Kampung Raden, Pondok Gede, dan Pondok Rangon. Hadir dalam syuting perdana antara lain Ahmad Syaikhu (anggota DPRD Bekasi), Ustadz Muhith M. Ishaq (pengajar di Islamic Center Iqro), Ahmad Nawawi (adik kandung almarhum Ust. Rahmat Abdullah), Ustadz M. Ridwan (penasihat Majelis Budaya Rakyat), dan Muhammad Yulius (penulis skenario dan ketua umum Majelis Budaya Rakyat).
Film yang berkisah tentang kehidupan almarhum Ustadz Rahmat Abdullah ini direncanakan akan selesai syuting pada akhir April 2008 dan dilaunching pada Juni 2008.
Hari Sabtu pagi, saya dan Muhammad Yulius (KetUm MBR), ditemani oleh Irwan Rinaldi (pemeran Ust. Rahmat), serta akh Tio dan akh Yudi dari IQRO Islamic centre, bersilahturahim ke kediaman seorang ustadz senior. Banyak hal yang kami perbincangkan, mulai dari kelanjutan shooting, launching perdana film Sang Murabbi hingga tantangan-tantangan dakwah ke depan. Alhamdulillah, pertemuan ini sangat bermanfaat buat saya dan pak KetUm untuk tetap terus istiqomah, berjuang membuat film-film dakwah.
Satu hal yang menarik dari perbincangan kami pagi itu adalah, pilihan untuk tetap menggunakan judul SANG MURABBI : Mencari Spirit Yang Hilang. Sebelumnya, memang ada sebagian teman yang bertanya, "Apakah Judul Sang Murabbi sudah tepat? Apakah bisa dimengerti atau diterima oleh semua kalangan? " Saya bisa memahami pertanyaan ini. Betul! Saat ini memang banyak kalangan yang belum mengerti arti kata Murabbi. Kata ini hanya dimengerti oleh kalangan yang biasa bersentuhan dengan ilmu-ilmu islam, mengikuti atau terlibat dalam proses tarbiyah islamiah. Tapi saya percaya, Insya Allah, jika kata murabbi terus menerus disosialisasikan, masyarakat pun akan faham dan mengerti. Seperti halnya beberapa kosa kata yang pada awalnya terasa asing, kini sudah menjadi bahasa sehari-hari. Kata 'anda', (meminjam penjelasan Yulius, KetUm MBR) awalnya berasal dari kata 'andhika'. Oleh wartawan sebuah majalah berita, untuk mempersingkat pengucapannya kata andhika diubah menjadi anda. Alhasil, kata anda sekarang sudah menjadi bagian dari kosa kata kita sehari-hari. Juga untuk panggilah akhi dan ukhti. Sebelum kang Opick menyanyikan lagu, "assalamua'laikum ya akhi... ya ukhti..." panggilan akhi dan ukhti terasa asing bagi sebagian kalangan. Tapi sekarang, masyarakat cukup familiar dengan sebutan, akhi (untuk saudara laki-laki) dan ukhti (untuk saudara perempuan). Begitu juga kata taa'ruf. Setelah film AAC 'meledak', banyak orang menggunakan kata taa'ruf untuk mengajak berkenalan. Sama halnya dengan sebutan ikhwan/akhwat. Sekedar contoh saja, di musholla GOR. Bulungan, gara-gara ada tulisan tempat wudhu /sholat untuk ikhwan dan akhwat yang terpisah, jemaahnya jadi faham, ooo.. ikhwan, itu buat yang lelaki... Akhwat itu buat perempuan.. Jadi, kata kuncinya memang ada pada sosialisasi. Insya Allah, jika sering-sering disosialisasikan, kata Murabbi akan dapat difahami dan dimengerti artinya oleh masyarakat. Dalam pemahaman saya yang sederhana (afwan, jika kurang mendalam... kalau ingin dilengkapi, silahkan lho...), Murabbi bisa kita sebut sebagai; - Syaikh (bapak spiritual), dalam tarbiyah ruhiah. - Ustadz (guru), dalam mengajarkan ilmu. - Qoid (pemimpin), dalam kebijakan dakwah untuk membimbing kita para anak-anaknya atau murid-muridnya (mutarabbi) menjadi pribadi muslim yang sholeh dan muslih. Akhir kata, hasil dari perbincangan pagi itu, kami semua sepakat bahwa dalam berkarya kita harus berani mengaktualisasikan diri, memposisikan karya kita dengan jelas. Sang Murabbi adalah film Islam. Film dakwah. Karenanya, dalam proses pembuatannya harus diupayakan untuk tidak melanggar hal-hal yang syar'i. Contohnya; pada saat pengambilan adegan Ust. Rahmat dan Ummi Fida berjalan menyusuri tangga Iqro, Ummi Fida (asli) mengomentari dengan nada bercanda, "Ana kalau diajak jalan-jalan sama Ustadz, biasanya tangan Ana digandeng...." Tapi, karena akh Irwan dan ukhti aci bukan muhrim, apa boleh buat, saya tidak bisa menampilkan adegan 'kemesraan' itu. Akh Irwan pun tersenyum kecut. Tertutup kesempatan akh Irwan untuk dapat memegang tangan ukhti Aci. Hehehe... Bercanda ya, akhi... Tentu saja antum mengerti soal ini. Jadi, dalam film ini tidak akan ditemui adegan Ummi Fida 'menyentuh' Ust. Rahmat, walaupun hanya sekedar mencium tangan. Kalaupun ada adegan Ati Cancer (memerankah ibunda Ust. Rahmat) menyentuh bahu Jerio (memerankan Awi, adik Ust. Rahmat), itu boleh dilakukan karena dalam kesehariannya, Jerio memang anak kandung ibu Aty Cancer. Atau ada adegan Ust. Rahmat menggendong anak-anaknya, itu juga dimungkinkan karena anak-anak masih terbebas dari hukum halal dan haram.
Tentu saja sebagian orang mungkin berpendapat, ini suatu kekurangan. Ada nilai estetika atau dramatisasi yang tidak dapat tereksplorasi lebih dalam. Adegan bisa jadi hambar, tidak menyentuh karena tidak ada 'sentuhan' fisik. Tapi, saya dan teman-teman di MBR menganggap 'kekurangan' ini adalah suatu berkah. Allah berikan tantangan dan kesempatan pada kami untuk menciptakan suatu adegan yang menyentuh hati (jiwa), tanpa harus melanggar hal-hal yang syar'i. Bisakah??? Para penontonlah yang nanti akan menilai... Wallahua'lam bishawab.. Kesempurnaan hanya milik Allah semata.
KH. RAHMAT ABDULLAH ]
Dalam satu kesatuan amal jama’i ada orang yang mendapatkan nilai tinggi karena ia betul-betul sesuai dengan tuntutan dan adab amal jama’i. Kejujuran, kesuburan, kejernihan dan kehangatan ukhuwahnya betul-betul terasa. Keberadaannya menggairahkan dan menenteramkan. Namun perlu diingat, walaupun telah bekerja dalam jaringan amal jama’i, namun pertanggungjawaban amal kita akan dilakukan di hadapan Allah SWT secara sendiri-sendiri.
Karenanya jangan ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa beru-saha meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan dipercepat oleh nasabnya ).
Makna tarbiah itu sendiri adalah mengharuskan seseorang lebih berdaya, bukan terus-menerus menempel dan tergantung pada orang lain. Meskipun kebersamaan itu merupakan sesuatu yang baik tapi ada saatnya kita tidak dapat bersama, demikian sunahnya. Sebab kalau mau, para sahabat Rasulullah SAW bisa saja menetap dan wafat di Madinah, atau terus menerus tinggal ber-mulazamah tinggal di masjidil Haram yang nilainya sekian ra-tus ribu atau di Masjid Nabawi yang pahalanya sekian ribu kali. Tapi mengapa makam para Sahabat tidak banyak berada di Baqi atau di Ma’la. Tetapi makam mereka banyak bertebaran jauh, beribu-ribu mil dari negeri mereka.
Sesungguhnya mereka mengutamakan adanya makna diri mereka sebagai perwujudan firman-Nya: Wal takum minkum ummatuy yad’una ilal khoir. Atau dalam firman-Nya: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnasi (Kamu adalah sebaik-baiknya ummat yang di-tampilkan untuk ummat manusia. Qs. 3;110). Ummat yang terbaik bukan untuk disem-bunyikan tapi untuk ditampilkan kepada seluruh ummat manusia. Inilah sesuatu yang sangat perlu kita jaga dan perhatikan. Kita semua beramal tapi tidak larut dalam kesendirian. Hendaklah ketika sendiri kita selalu mendapat cahaya dan menjadi cahaya yang menyinari lingkungan sekitarnya.
Jangan ada lagi kader yang mengatakan, saya jadi buruk begini karena lingkungan. Mengapa tidak berkata sebaliknya, karena lingkungan seperti itu, saya harus mempenga-ruhi lingkungan itu dengan pengaruh yang ada pada diri saya. Seharusnya dimanapun dia berada ia harus berusaha membuat kawasan-kawasan kebaikan, kawasan cahaya, kawas-an ilmu, kawasan akhlak, kawasan taqwa, kawasan al-haq, setelah kawasan-kawasan tadi menjadi sempit dan gelap oleh kawasan-kawasan jahiliyah, kezaliman, kebodohan dan hawa nafsu. Demikianlah ciri kader PK, dimanapun dia berada terus menerus memberi makna kehidupan. Seperti sejarah da’wah ini, tumbuh dari seorang, dua orang kemudian menjadi beribu-ribu atau berjuta-juta orang.
Sangat indah ungkapan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Antum ruhun jadidah tarsi fi ja-sadil ummah". Kamu adalah ruh baru, kamu adalah jiwa baru yang mengalir di tubuh ummat, yang menghidupkan tubuh yang mati itu dengan Al-Qur’an.
Jangan ada sesudah ini, kader yang hanya mengandalkan kerumunan besar untuk merasakan eksistensi dirinya. Tapi, dimanapun dia berada ia tetap merasakan sebagai hamba Allah SWT, ia harus memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya dan taqwanya kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan terlihat orang. Kemana-pun pergi, ia tak merasa kesunyian, tersudut atau terasing, karena Allah senantiasa ber-samanya. Bahkan ia dapatkan kebersamaan rasul-Nya, ummat dan alam semesta senanti-asa.
Kehebatan Namrud bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya, justeru malah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat). Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum (Jika kamu menolong Allah, Ia pasti akan menolongmu dan mengokohkan langkah kamu)
Semoga para kader senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan.
Disanalah kita mentarbiah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Alqur-an dan cahaya Islam rahmatan lil alamin.
[pks.or.id]
Oleh :KH Rahmat Abdullah
Pada suatu hari lewatlah seseorang di depan Rasulullah SAW. Beliau bertanya kepada seseorang disampingnya: "Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?" Orang itu menjawab: "Ia lelaki golongan terhormat. Demi ALLAH, seandainya meminang pastilah diterima dan bila memberi pembelaan pasti dikabulkan". Lalu Rasulullah SAW berdiam. Kemudian melintaslah seseorang. Rasulullah bertanya kepada orang yang disampingnya tadi: "Bagaimana pandanganmu tentang orang ini?" Ia menjawab: "Ia muslim yang faqir. Bila meminang pantas ditolak, bila memberi pembelaan takkan didengar pembelaannya dan bila berbicara takkan didengar ucapannya". Rasulullah SAW bersabda : "Sepenuh bumi ia lebih baik daripada orang tadi (yang pertama)" (HSR Muslim).
Ketika Da’wah ini muncul dan eksis dalam waktu yang sangat singkat, ia telah menyata-kan jatidirinya dengan jelas. Ia adalah kemenangan bagi siapa saja yang mau berjuang, tidak peduli anak siapa dan berapa kekayaan bapaknya. Ia tidak peduli penolakan Bani Israil paska nabi Musa AS ketika nabi mereka menyatakan bahwa Thalut yang miskin telah dipilih ALLAH untuk menjadi pemimpin mereka (Qs.2:247). Ia tidak juga meman-jakan ‘kesombongan intelektualisme’ kaum nabi Nuh AS yang mencap Nuh hanya diikuti oleh ‘orang-orang rendah, yang dangkal fikiran’ (aradziluna. badia’r ra’yi, tidak kritis, Qs. 11:27). Bahkan ia pun tak sungkan-sungkan menegur keras nabinya karena ‘logika prioritas’ yang dibangunnya menyebabkan Abdullah bin Ummi Maktum ‘nyaris tertinggal’. Alqur-an menyebutkan "Ia telah bermasam muka dan berpaling, ketika datang kepadanya hamba yang buta……" (Qs. 80:1-2).
Siapa yang tak kenal keutamaan keempat khalifah dan beberapa tokoh legendaris di ka-langan para sahabat? Namun, carilah dimana nama mereka terpampang dan bukan hanya sifat, selain Zaid, RA (Qs.33:37) ? ‘Kelas’ inilah yang diakui sebagai kekuatan yang dengan mereka "kalian diberi rezki dan dimenangkan". (HSR Bukhari)
Pungguk Mengaku Duduki Bulan Demi kepentingan mereka, bahkan Dzulqarnain mengoreksi salah kaprah yang merugikan mereka sendiri. "… mereka berkata: "Wahai Dzulqarnain, maukah Engkau kami beri upeti, agar mau membangunkan tembok (benteng) yang dapat melindungi kami dari (serangan) mereka?" Ia menjawab; "Kedudukan yang ALLAH telah berikan kepadaku itu lebih baik. Cukuplah kalian membantuku dengan kekuatan, aku bangunkan benteng yang kuat, memisahkan antara kamu dan mereka" (Qs.18:94-95).
Tanpa pembinaan dan penataan yang benar kelas ini akan menjadi kekuatan destruktif yang dikendalikan tangan-tangan berdarah. Dendam kemiskinan kerap membuat orang melahap fatamorgana. Mereka melahap tuduhan bahwa masyarakat tak peduli kepada derita mereka, lalu menyambut lambaian para penipu yang akan menunggangi mereka. Kalau para kader hanya mencemooh dari jauh kelicikan para tengkulak yang memperdagangkan kemiskinan dan melahap begitu banyak hak masyarakat miskin, tetaplah roda kemenangan berpihak kepada angkara murka.
Banyak orang kaya baru (OKB) berlomba-lomba memamerkan kekayaan mereka dan po-litisi dari partai-partai baru yang mencaci-maki partai tiran dan korup sebelumnya. Tetapi ajaib, mereka menjadi begitu norak, kemaruk dan lebih ‘ndeso’ dari para pendahulu.. Orang kaya merambat tak perlu waktu adaptasi. Orang kaya mendadak benar-benar perlu belajar membawa diri. Tetapi orang kaya turunan dan orang kaya mendadak sama-sama perlu memahami dan mengingat kembali kemiskinan, betapa pun pahit.
Kader yang menyikapi jabatan yang diterimanya lebih sebagai amanah dari pada kehormatan, akan dengan cepat belajar menyesuaikan diri dan memahahami karakteristik tugas dan tantangannya. Bawahan yang lebih pandai, diakuinya dan didorongnya untuk cepat menggapai posisi yang lebih sesuai. Mereka berendah hati, karena memang tak takut jatuh dengan merendah. Sebaliknya mereka yang bagaikan senior perpeloncoan yang kerap bermasalah dalam IP mereka, sering menampakkan gejala ketakutan ‘disaingi’.
Perasaan berkasta tinggi. Melecehkan orang yang mereka anggap berkasta lebih rendah. Menelikung siapa saja yang di luar koneksi. Mengkoptasi semua demi keharuman citra diri. Memecahkan masalah dengan menyalahkan orang lain. Melapor segalanya beres tanpa ada yang dibereskan.
Hal paling berat bagi kader yang berorientasi kekuasaan atau dunia ialah usaha untuk mendengarkan dan memahami. Mereka lebih suka didengar, difahami dan dimaklumi. Tak ada kemajuan dalam prestasi kecuali seni membuat-buat alasan. Karena otak tak bekerja kerap, mereka lebih suka menggunakan lutut. Muncullah kader-kader ‘gagah’ dengan mengimitasi tampilan serdadu, bukan meningkatkan etos, disiplin dan kehormatan jundi sejati. "Army Look" adalah kebanggaan mereka yang ingin diterima tanpa harus mengajukan dalil, yang penting orang takut dan nurut.
Kader Sejati Pepatah lama menyadarkan kita betapa pentingnya mendengar. "Ta’allam husna’l Istima’ kama tata’allam husna’l Hadits" (Belajarlah cakap mendengar sebagaimana engkau be-lajar untuk pandai bercakap).
Para ‘penjaja’ Fasad telah begitu lihai menggeser cita-rasa masyarakat. Mereka membentuk identitas ABG dengan segala asesori termasuk bahasa. Mereka bentuk mental attitude-nya sendiri dan bahasa gaulnya sendiri. Seluruh sasaran bahasa adalah penjungkirbalikan kemapanan. Dan agama adalah bagian yang dianggap kemapanan.
Bahasa fasad lebih fasih dari pada bahasa Islah. Ada bahasa gaul untuk remaja, ada bahasa gaul untuk tua-bangka dan ada bahasa gaul untuk preman, morfinis dan kriminal lainnya.
"’Ala Man Taqra’ Zabura ?!" (Kepada siapa Anda Bacakan Zabur?), adalah sindiran tajam bagi da’i yang asyik menyusun kata dan menikmatinya sendiri, tanpa peduli apakah komunikannya dapat mengerti. Dalam pertarungan memperebutkan pendukung, ada kekuatan berhasil meyakinkan calon pendukungnya dengan idiom-idiom tipuan yang memukau rakyat. Ada yang dengan jujur meneriakkan visi dan misi mereka, tetapi tidak cukup sampai ke telinga batin mereka.
Banyak kondisi menipu (Zhuruf Muzayyafah), yang kerap membuahkan kekecewaan. Sesudah iman, ikhlas dan pengenalan konsep serta medan, kemampuan transformasi fikrah dan menangkap gejolak arus bawah mutlak perlu dipertajam. Pesan-pesan penyampaian dengan berbagai pendekatan, patut dibiasakan; 1. Khathibu’n Nas ala Qadri uqulihim (Serulah masyarakat sesuai dengan kadar akal mereka), 2. Khathibu’n Nas bilughati qaumihim (Serulah masyarakat dengan bahasa kaum mereka), 3. Anzilu’n Nas manazilahum (Dudukkan masyarakat menurut kedudukan mereka).
Karena da’wah bukanlah obral candu, perlu diuji ulang, cukup tajamkah telinga ini men-dengar krucuk perut yang hanya berisi angin. Cukup sensitifkah mata memandang seorang akh yang membisu dalam kelaparannya yang sangat dan isterinya yang gemetar menanti rizki yang datang dengan sabar. Masihkah ada waktu muhasabah sebelum tidur, menyusuri wajah demi wajah, adakah yang belum tersantuni. Atau menelisik kader yang hanya diberi sanksi, tanpa seorang pun tahu, tiga hari ini ia tak punya tenaga karena sama sekali tak dapat makanan.
Ini mozaik kehidupan kita yang harus ditata menjadi serasi dan harmoni. Malang nasib dia yang mati rasa, nyinyir menyindir kesengsaraan saudara sebagai buah kemalasan, seraya menghabiskan bertalam-talam makanan yang tak dapat lagi memenuhi rongga perutnya. Bagaimana ia dapat memahami gelombang besar rakyat jelata yang bagai singa terluka, menanti kapan saatnya menerkam dengan penuh murka.[]
[pks.or.id]
Drs. H. Achmad Dradjat
Menciptakan Beladiri Praktis dan Efektif Badan tegap, padat, berotot kekar ternyata tidak hanya dimiliki oleh atlet olahraga binaraga atau body building, ini juga hampir terlihat pada semua penekun olahraga beladiri Tarung Derajat. Bentuk latihan beladiri yang telah berhasil diciptakannya mampu membentuk fisik secara prima, badan kekar dan kuat untuk dididik menjadi insan beladiri yang berhati nurani lembut. |
Berawal dari pengalaman yang tidak menyenangkan dan perjuangan hidup yang keras, AA Boxer panggilan akrab dari Drs. Achmad Drajat selalu mencoba untuk mempertahankan diri dari segala bentuk perkelahian yang kerap dialaminya pada masa muda dahulu. Memang menurutnya pada tahun 1960 an, di lingkungan tempat tinggalnya, AA Boxer sering mendapat tekanan-tekanan yang pada akhirnya terjadi bentrokan secara fisik. Tempat tinggalnya yang terbilang rawan pada masa itu, selalu menjadi tempat perkelahian antar kelompok, bahkan dirinya menjadi ikut terlibat, bukan AA Boxer yang memulai, tetapi timbul dari keadaan yang terpaksa. Begitu pula ketika bermain bola, kepiawaainnya memainkan kulit bundar di lapangan hijau acapkali membawa kesebelasannya keluar sebagai juara. Rupanya, ada beberapa orang yang tidak suka dengan kemahirannya, sehingga dirinya sering mendapat tekanan dan permainan kasar dari lawan dan akhirnya berbuntut pada perkelahian. Memang diakui tubuh fisiknya yang kecil selalu mendapat perlakuan tidak wajar dari lawannya yang bertubuh besar dan selalu berakhir dengan kekalahan. Pengalaman hidup yang selalu tidak menyenangkan ini telah membekas pada dirinya. "Dari bosan kalah itulah timbul niat untuk menciptakan beladiri", kata ayah dari dua anak ini. Akhirnya ia mencoba menciptakan teknik-teknik beladiri yang praktis untuk dapat mengangkat kembali kehormatan dirinya agar tidak selalu menjadi bulan-bulanan lawannya yang bertubuh besar. Setelah ditelaah ternyata dalam perkelahian yang selalu dialaminya, ia menemukan 4 unsur gerakan, yaitu memukul, menendang, menangkis/mengelak dan membanting. Dalam benaknya timbul, "Kalau ingin menang dalam berkelahi harus mempunyai cara untuk memukul, menendang, menangkis/mengelak, dan membanting sendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain". Dari sini diproses, karena pada dasarnya tangan dapat digerakkan secara alamiah sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya. Semangat dan ketekunan telah membentuk dirinya menjadi mahir untuk membela diri. Kematangan dalam beladiri semakin bertambah tatkala ada orang yang dengan sengaja ingin mencoba dan mengajak beradu fisik. Bahkan memberanikan diri untuk melindungi orang yang merasa tertindas atau disakiti oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Namanya mulai dikenal sebagai sosok pembela orang yang lemah. Sejak itu, beberapa pemuda berdatangan ingin mempelajari ilmu beladiri yang dimilikinya. Pada saat inilah panggilan dan julukan AA BOXER mulai melekat pada dirinya. Awalnya, AA Boxer tidak berkeinginan untuk mengajari orang untuk beladiri. Ia menciptakan beladiri hanya untuk dirinya sendiri dan tidak mempunyai jurus/gerakan yang baku, tetapi karena beberapa orang tetap memaksa untuk diajarkan beladiri, mulailah mereka diberikan pelajaran ilmu beladiri hasil jerih payahnya. Ini terjadi pada tahun 1968 yang pada saat itu, AA Boxer baru berusia 18 tahun. Dari beberapa orang, kemudian menyebar dan tumbuh cukup pesat, seperti bola es yang menggelinding makin lama makin besar. Timbul pemikiran untuk membentuk suatu wadah perkumpulan yang mempunyai nama, lahirlah beladiri itu secara ilmiah dari nama panggilan sehari-hari, AA BOXER. Tepatnya tahun 1972, beladiri yang diciptakannya kini sudah memiliki nama. Perjalanan mengajar dan melatih, tumbuh berkembang sampai timbul permintaan untuk mengajar di daerah lain. Renungan dari pengalaman hidup yang diderita dan dijalaninya dengan penuh kesabaran dan tawakal telah menjadikan dirinya tegar dan menumbuhkan rasa percaya diri serta menanamkan keyakinan yang semakin mantap. Perlahan-lahan ditata dan ditinjau kembali teknik dan gerakan yang sudah diciptakan, sehingga kian hari beladiri yang lahir secara alamiah ini mulai menemukan bentuknya. Teknik-teknik yang diyakininya sudah baik mulai dibakukan. Konsepnya untuk menciptakan beladiri yang praktis dan efektif sudah semakin nampak jelas. Semuanya diilhami dari 4 unsur gerakan perkelahian, yaitu memukul, menendang, menangkis/mengelak, dan membanting. Menurutnya, sudah kodrat-Nya gerakan-gerakan fisik tersebut ada pada setiap insan manusia yang mutlak bukan milik dari suatu aliran ilmu beladiri lain. Kedewasaannya yang ikut terbina dengan baik telah menbentuk dirinya untuk selalu berfikir positif, nama perkumpulan beladiri AA Boxer terkesan berbau asing dan juga seakan bertentangan dengan idealisme bangsa Indonesia. Menurutnya, beladiri yang telah diciptakan lahir di bumi Indonesia, karena itu nama perkumpulan beladirinyapun harus berasal dari bahasa Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan keinginannya untuk mendaftarkan olahraga beladiri ini masuk menjadi anggota KONI. Akhirnya berubahlah nama perkumpulan beladirinya menjadi TARUNG DRAJAT. Ini diambil dari kata TARUNG yang artinya perkelahian, perjuangan untuk membela diri, sedangkan kata DRAJAT diambil dari namanya Achmad Drajat. Jadi, arti TARUNG DRAJAT adalah cara berjuang mempertahankan diri ala Achmad Drajat. Pengetahuan fisik dan batin yang juga ikut dipupuk merasa dirinya seolah berkesan dikultus dari namanya. "Kalau kita memakai nama langsung, kita seolah-olah memiliki suatu hal yang sombong atau takabur, jadi nanti akan ada suatu pengkultusan, kita tidak mau dikultuskan oleh anggota", demikian ujarnya ketika menceritakan perubahan TARUNG DRAJAT menjadi TARUNG DERAJAT. Artinya pun berubah menjadi Berjuang mempertahankan diri untuk mencapai suatu tingkat atau kehormatan, karena DERAJAT itu sendiri mempunyai arti tingkat atau kehormatan. Hasil usaha dan perjuangan yang sebelumnya tidak pernah disangka akan menjadi seperti ini akhirnya tumbuh dan berkembang. Apalagi setelah masuk menjadi anggota KONI pada tahun 1998. Ditunjang oleh semangat dari murid-muridnya, Keluarga Olahraga Tarung Derajat atau yang lebih dikenal dengan KODRAT telah menyebar di 20 propinsi di Indonesia, dan juga sampai ke negara-negara lain khususnya Asia Tenggara. Beladiri yang diciptakan ini memang murni hanya melatih beladiri secara fisik saja, tidak ada unsur lain. Gerakan teknik beladiri yang praktis dan efektif yang dikembangkan ini tidak pernah secara khusus untuk bisa beladiri dengan senjata. Walaupun demikian diajarkan juga cara untuk menghadapi lawan yang menggunakan senjata. "Apakah dapat dikatakan insan beladiri, jika ada orang yang membawa senjata yang bukan bagian dari tugasnya ?", begitulah prinsipnya, "Sebab insan beladiri adalah orang yang ingin menciptakan hidup tenang dan selamat" , tambahnya lagi.
Beladiri Alamiah "Tarung Derajat murni hanya mengolah fisik saja !", tegasnya. Diakuinya, memang tidak ada unsur mistik yang digunakan untuk menambah kekuatan. Berlatih fisik secara rutin dengan suatu teknik yang sudah diramu dan disesuaikan dengan teknik beladiri ciptaannya, namun tidak bertujuan untuk membentuk badan seperti atlet binaraga. Berlatih fisik untuk beladiri berarti juga berlatih napas, dan ini terjadi secara alamiah, tidak ada latihan pernapasan secara khusus. Memang dianjurkan kepada para anggotanya untuk selalu menyempatkan diri berlatih fisik dan teknik setiap hari selama 1 sampai 2 jam. Karena menurutnya untuk membentuk fisik menjadi kuat, otot dan daging menjadi pejal memerlukan latihan yang keras, disiplin yang tinggi dan dilakukan terus-menerus, sehingga diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, kekuatan dan percaya diri menjadi meningkat. Kejadian pada masa perkelahian dahulu telah melahirkan teknik beladiri yang terbentuk secara alamiah. Gerakan tangan, kaki, dan juga anggota tubuh lainnya bersumber dari gerakan-gerakan yang biasa dan alamiah dilakukan oleh setiap orang, namun diasah lagi dengan kemasan teknik beladiri berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang pernah dialaminya. Hingga terbentuklah beladiri Tarung Derajat dengan teknik beladiri yang praktis dan efektif. "Yang namanya praktis adalah tidak neko-neko", tuturnya. Menurutnya lagi, tidak ada latihan untuk menahan napas, atau belajar agar menjadi kuat terhadap air raksa atau juga harus kuat terhadap pukulan besi, "Kalau orang lain bisa, harus kita akui", begitu komentarnya dengan tetap menghargai yang lain. Setiap anggota Tarung Derajat sudah biasa terdidik secara keras, dengan porsi latihan yang keras, targetnya adalah untuk mencapai dan membentuk anggotanya mempunyai kelembutan hati nurani. Dengan menjadi petarung, perilaku hidup akan menjadi terkendali. "Tidak boleh anggota Tarung Derajat melakukan tindakan yang berlebihan, karena akan mendapat hukuman yang berat", tegasnya ketika mengakhiri pembicaraan. (PS & AIS) |
Sumber : Majalah Duel Online
Inilah salah satu jenis beladiri yang lekat dengan dakwah Islam. Meskipun berasal dari negeri yang bukan merupakan pusat penyebaran agama Islam, namun dalam perkembangannya tata cara latihan dan pemilihan materi pelajarannya sangat dipengaruhi oleh aqidah Islam. Konon, pernah di suatu masa, orang yang boleh mempelajari beladiri ini harus hafal Al Quran dan minimal seribu hadits Nama beladiri ini diambil dari nama daerah di Negeri Turkistan Timur bernama Thifan atau Turfan yang kemudian diganti namanya menjadi Sin Kiang, suatu daerah otonomi yang termasuk dalam wilayah Cina Utara. Dakwah Islam mulai disebarkan di Turkistan kira-kira pada dua abad setelah Hijriah, sebagaimana tertulis dalam Kitab Zhodam "Maka tatkala sampailah dua abad lepas hijrah orang-orang sempadan tanah Cina arah utara itu masuk Islam. Lalu ilmu pembelaan diri masa mereka memeluk Budha itu dibawanya pula dalam alam Islam, tetapi ditinggalkannya segala upacara yang bersangkut-paut dengan keBudhaannya seumpama segala penyembahan, cara bersalam dengan mengatupkan kedua belah tangan, lambang-lambang, dan segala istilah." (Zhodam, Telif Syiharani, halaman9). Sejarah beladiri ini dapat diketahui dari kitab-kitab yang menjadi pedoman intern keluarga besar Thifan Pokhan, yaitu Kitab Zhodam yang berisi sejarah atau riwayat dan Kitab Thifan Pokhan sendiri yang memuat teknik-teknik beladiri. Keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1920 dari bahasa aslinya, Urwun. Menurut M. Rafiq Khan dalam bukunya "Islam di Tiongkok", orang Muslim pertama yang datang ke Tiongkok terjadi pada zaman pemerintahan Tai Tsung (627-650 Masehi), seorang kaisar kedua dari Dinasti T'ang. Dituliskan pula bahwa selama pemerintahan Tai Chong (kaisar kedua dari Dinasti Tsung tahun 960-1279 Masehi) Tiongkok diserbu oleh penguasa Muslim dari Kashgaria, yaitu Baghra Khan beserta pasukannya, lalu menduduki Sin Kiang. Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana hubungan atau interaksi antara dakwah Islam dengan tumbuhnya berbagai macam beladiri di kawasan Tiongkok sehingga terjadi pula Islamisasi beladiri. Sesuai dengan bahasa Urwun yang merupakan bahasa asalnya, Thifan Pokhan berarti "Kepalan Tangan Bangsawan Thifan". Melalui sejarah yang panjang, beladiri ini terus berkembang dengan berbagai macam pengaruh dari beladiri-beladiri yang ada saat itu, termasuk Shaolin Kungfu. Namun dalam perkembangan berikutnya, ilmu ini dikuasai oleh pendekar-pendekar Muslim. Sampai pada suatu saat seorang bangsawan bernama Jenan dari Suku Tayli yang pandai dalam ilmu Syara dan terkenal sebagai Ahund (ustadz atau guru) muda, menghimpun ilmu-ilmu beladiri itu di samping berguru kepada pendekar Namsuit serta orang-orang Wigu. Bersama para pendekar Muslim lain yang memiliki keahlian ilmu Gulat Mogul, Tatar, Saldsyuk, Silat Kitan Tayli, merekapun membentuk sebuah aliran bernama Shurul Khan. Dari Shurul Khan inilah terbentuk sembilan aliran yang kemudian digubah, ditambah, ditempa, dialurkan lalu dipilah, diteliti dan dikaji sebagai cikal bakal munculnya Thifan.
Jurus dan gerakan dasar Thifan Pokhan aliran Tsufuk ada sepuluh, yaitu Jurus Persiapan, Tingkat Dasar, Jurus Turaiyt, Jurus Bergulat, Tusyug (langkah), Khimo, Jurus Konlut, Fuen Lion, Tawgi Kotlu, dan Badur. Seluruh gerakan itu diubah untuk melengkapi Shurul Khan. Selain ilmu tersebut, dalam materi pelajaran beladiri ini juga diajarkan ilmu Awasin Al Kay dari Arab, tusuk jarum dari Cina, tusuk saraf dari Persia, dan lain-lain. Juga permainan senjata seperti toya, Shourim, kungfu purba, permainan pedang Kurdi, permainan panah Mongol, permainan senjata Keway dari anak suku Wigu, serta ilmu Senzho yang merupakan gubahan berbagai suku. Inti materi latihan Tsufuk Thifan Pokhan dibagi menjadi enam bagian, yaitu Sentai (senam), Tawe (jurus), Tusyug (langkah), Sikla (pasangan), Khimo (tipuan), dan Teknik Pernapasan Binatang Buas. Ada 12 tingkat jenjang latian yang ada di Tsufuk Thifan Pokhan. Setiap tingkat memakan waktu sekitar satu tahun. Namun ada juga program khusus, tergantung pada kemajuan murid. Pada program ini waktu bisa lebih dipersingkat. Salah satu ciri khas beladiri Thifan adalah teknik pembelaan diri yang selalu membiarkan lawan terlebih dahulu menyerang. Dengan demikian gerakan lawan dapat diamati, apakah mematikan atau tidak. Kemudian teknik yang digunakan lawan tersebut digunakan untuk balik menyerangnya. Untuk mencapai tahap kemampuan seperti tersebut ada dua hal pokok yang harus dimiliki, yaitu ketenangan dan kelincahan.
Ketenangan dapat dicapai jika dua unsur pokok dalam diri manusia dapat dipadukan dengan selaras, yaitu unsur Jasadiah yang terlatih dengan baik dan unsur Ruhiyah yang terbina dalam pemahaman aqidah yang shahih. Kelincahan didapat dengan melatih teknik-teknik yang ada dalam jurus-jurus Thifan secara tertib, disiplin dengan target sesuai dengan jenjang tingkatnya. Tradisi yang diajarkan di lanah-lanah atau lembaga pesantren dengan doktrin Thifan diantaranya adalah : 1. Tidak menyekutukan Allah, tidak percaya pada takhayul, khurafat, dan tidak berbuat bid'ah dalam syara. 2. Berusaha amar ma'ruf nahi munkar (mengajak berbuat kebajikan dan melarang berbuat kemungkaran). 3. Bertindak teliti dan tekun mencari ilmu. 4. Tidak menganut asas ashobiah (kesukuan, kelompok). 5. Tidak menggunakan lambang-lambang, upacara-upacara dan penghormatan-penghormatan yang menyalahi syara. Pada masa Sultan Malik Muzafar Syah dari Kerajaan Lamuri yang hidup sekitar abad ke-16 didatangkan pelatih-pelatih beladiri dari Turki Timur yang kemudian disebarkan ke kalangan para bangsawan di Sumatera (dapat dilihat dalam kisah raja-raja Lamuri / raja Pasai). Pada sekitar abad ke-18, Tuanku Rao dan kawan-kawan mengembangkan ilmu ini ke daerah Tapanuli Selatan dan Minang, hingga ke Sumatera Bagian Timur dan Riau yang berpusat di Batang Uyun / Merbau. Kemudian sekitar tahun 1900-an ilmu ini dibawa oleh Tuanku Haji (Hang) Uding yang menyebarkannya ke daerah Betawi dan sekitarnya. Beladiri khas ini pun disebarkan oleh orang-orang Tartar ke pulau Jawa sambil berdagang kain. Sedangkan di luar pulau Jawa lainnya, ilmu beladiri ini disebarkan oleh pendekar-pendekar lainnya sampai ke Malaysia dan Thailand Selatan (Patani). Di Jawa Barat, Thifan dikembangkan oleh Aliran Tsufuk atas bimbingan Ustadz Ad Marz. Aliran Tsufuk ini muncul karena ketika Thifan masuk ke Indonesia sistem pengajarannya belum baku sebab penyebarannya masih terbatas. Nama "tsufuk" diambil dari nama hewan sejenis tikus yang sedang mengintai lawan. Jenis tikus yang mempunyai berat sekitar 9 kg ini hanya hidup di Siberia. Karena besarnya animo kaum Muslimin untuk mempelajari beladiri Thifan Pokhan, maka aliran Tsufuk membuat sistem pengajaran yang baku tanpa meninggalkan kaedah-kaedah Thifan Pokhan yang benar. Di Indonesia, beladiri ini tidak berafiliasi dengan beladiri lain yang terdaftar di KONI. Dalam tiga kali pertandingan ekshibisi intern, Thifan Pokhan menggunakan peraturan sendiri. Sebenarnya KONI telah menganjurkan agar Thifan berafiliasi dengan salah satu beladiri seperti Wushu atau Pencak Silat, namun karena alasan tekniknya berbeda dengan beladiri lain maka hingga sekarang hifan Pokhan masih berdiri sendiri. Aliran Tsufuk Thifan Pokhan juga mempunyai murid wanita yang berbeda baju seragam maupun jurus-jurusnya dan diberi nama Puteri Gading. Sekretariat Pengurus Pusat
Aliran Tsufuk Thifan Pokhan
Jl. Suryalaya Raya No.37, Bandung, Jawa Barat
Telp. (022) 302827, 236288
by Ted Mancuso (This article originally appeared inthe September 1999 issue of Inside Kung Fu.) China is a dish spiced by many cultures. There are over 50 minorities among the Chinese besides the Han people themselves. A significant number, over five million of these, are Moslems - known in Chinese as the "Hui" people. In the tenth century large numbers of Persians and Arabs extended the Moslem trade routes deep into China. Many settled and widely dispersed through the country; some living among the general population, some sticking close to concentrated communities of believers. Known for toughness, courage and high spirit the Moslem population of China has not been passive in its growth. Often exploited and suppressed they maintained a stubborn reliance on their beliefs and fighting skills. But reprisals often came. In the Ch'ing dynasty (1644-1910), for instance, three Hui people walking together with weapons could be punished. If caught committing a crime they might even had their faces branded Hui Zei (Moslem Rebel). Such was the discriminatory treatment of Moslems throughout the empire. On the other hand, in the 13th century Moslem generals rallied under a new banner and helped establish the Ming dynasty - a high point of Chinese history. Unceasingly, Moslem martial artists adopted and perfected the indigenous arts of China. They developed a number of fists that are still practiced with honor today. But at the base was one particular exercise known as ... The Moslem Spring Leg
If there is one universally recognized set for the Moslem style it is the "springing leg" or Tan Tui. At first blush Tan Tui seems callously unimpressive. The moves are repetitious, stretched out, almost mechanical and performed up and back as though on a track; each segment is termed a "road." The original style was subdivided into ten such roads. Later, a southern version was introduced that split some of the harder roads into more digestible bites and expanded the set to 12 roads. To this day, if you say you practice Tan Tui, those in the know will immediately ask "10 or 12?" Tan Tui is a popular set adopted by many styles and lent a special flavor by each. For instance, in one branch of mantis, there is a 14-road Tan Tui. With such popularity Tan Tui became one of the first universal kung-fu sets and therefore can claim a part as forerunner of contemporary wushu's standardized forms. Tan Tui, as we have said, is not a flashy looking set. Mostly straight punches and kicks, it seems to some to possess a robotic aspect that makes it look more like work than fun. But tan Tui is so profound that many boxers throughout history have specialized in its technique. For instance, the wide-open punches of tan Tui, known as yoke punches, are designed along the lines of Chinese medical practice to stretch and invigorate the meridians of the body. Simultaneously, the yoke punch, with its exaggerated arm extension, is a perfect indicator of the placement of the student's waist. Shoulders, which normally fly upward in the beginning student, are so stretched they naturally drop and relax. The same benefits go for the extended long leg kicks of the art. As the name suggests Tan Tui attempts to strengthen the abdominal muscles of the practitioner by forcing him to extend while kicking. The striking leg must immediately elevate from the ground with minimal cocking action.
In true northern kung-fu long fist fashion, Tan Tui encourages the student to find his maximum range of motion before tightening and shortening up. Tan Tui disallows the beginner's tendency of bent limbs and tensed muscles to create power. It lives up to its name of long fist by making the student think in a new way, in a sense reprogramming his ideas of power generation and range of motion. In due course, after the student has learned the ten basic roads the real training should begin. This is a good example of ancient training methods versus more contemporary ones. Nowadays, having completed the tan Tui, the student immediately moves onto another more interesting and diverse set of actions. This is too bad because the training has really just begun. For instance, since the ten roads are each separate they can be done in any order. A good Tan Tui instructor will then have the student mix and match roads until any road can be done in any order at will. Then the roads are again practiced with shuffling steps, changes of speed, and angled steps breaking the robot-like aspect completely. This challenges the students' creativity and ability to respond. Finally the actions from the roads are completely mixed so the student may start with No. 1, switch to No. 8, and finish with No. 5 without losing place or direction. From a simple series of movements the student is now only a small step from basic sparring practice. Tan Tui is said to have been created in the Ming dynasty by ChaShagmir (a distinctly Moslem name even in Chinese). Chamir, as he was called, was among those who went to the coast to protect the shores of China against raids by Japanese pirates. However, on this long journey he became sick from the harsh weather conditions. He was left to recuperate in a mountain village in GuanXian County. His hosts in this small village were so kind to him that when he recovered that autumn and watched them practice their kung-fu after harvest he decided to teach them the art he had devised. They were grateful and his art spread far and wide from this origin. People took the first syllable of his name "Cha" and thus the style known as "Cha Chuan" - Cha Fist, was born. Originally its basis, the Tan Tui set, was composed of 28 routines – one for each letter of the Arabic alphabet. Eventually everything was compiled into the ten road spring leg which remains with us today. Those familiar with Arabic religious poetry will note that many root words in Arabic are without vowels and can be rearranged to create other meanings and levels of understanding. This rearrangement, also familiar to certain Christian and Jewish sects, was considered a valid study for all students of the Bible, Torah and Koran. And note as an interesting sidelight that this is precisely the method of teaching for the Tan Tui, taking ten routes (roots) and reassembling them to form new meanings and combinations still related to the original exercises. There is an old saying in kung-fu that one form mastered is worth a hundred tasted. But too often people take this to indicate a mindless repetition of the form. Tan Tui is a perfect example of what form mastery is meant to entail. Rather than learning flashier new forms which ultimately reduce to the same moves in new combinations with a little "Hollywood" thrown in, the traditional student of kung-fu developed power and stability with familiar movements before gradually altering them to new situations. He reinvested and compounded his knowledge. It was a wise way to save and to practice. Known throughout China Tan Tui is particularly practiced in Henan, HeBei, Shantung and Sha'anxi provinces. Since its origins lie with the Hui people there is even a proverb: From NanJing the best Tan Tui is that of the Hui people" which becomes the pun, "Hui (Moslem) Hui (best) Tan Tui." Cha Chuan
As it progressed Cha style and other Moslem boxing methods became known under the general name of Jiao Men (sect fighting). Of the many jiao men forms one group in particular, the ten sets of Cha Chuan, is famous. Like the ten core sets of Shaolin, these famous forms encompass the entire repertoire of the Cha style, not counting weapons. The first one taught is generally Cha No. 4, a famous long fist form. Cha is a particularly beautiful style. Like any northern long fist it is big, proud and fluid. Stances are lower than in most Shaolin-type styles with special emphasis on height changes, waist turning and hip control. But it is Cha Fist's special emphasis on timing which is particularly interesting. Most beginning kung-fu practitioners sweat buckets just to coordinate hands and legs as a single unit. But as the Cha student progresses this simplified coordination step and punch, kick and palm slowly disappears. It is replaced by a subtle offset rhythm speeds from each other and from the legs. Cha Fist excels in broken rhythm, offset rhythm and all sorts of movements that seem to set up a timing, violate it and dovetail right back into the proper beat, converging at just the right moment. "Convergence" is the key word here. As in all advanced kung-fu the practitioner is looking for limbs to travel at different rates and then converge just at the moment of completion. Seen in this light all those different moves and stances in kung-fu forms are more than just beautiful postures. Each group is actually an entirely different task requiring different coordination and convergence. Cha fist maintains the ancient and subtle variations in timing, pace and execution that make for distinctive, not cookie-cutter, kung-fu. The Moslem Contribution
On the stage of world history the Moslem world has been an important player, especially in relations with the East. The followers of Islam were the first to bridge the gap between Chinese and Western medicine and they started that 1,000 years ago. Alchemy, beginning in China, was transported directly through the Arab world to the West and rooted itself as the beginnings of modern chemistry. The Moslem fist in China has also made worthy contributions. When the newly formed Republic of China began its creation of a generic, contemporary version of Wushu it looked to Jiao Men as its basis. The reasoning was interesting. Moslems, as a whole, had always been isolated within the minorities of China and therefore had far less traffic with other groups. It was thought, therefore by the powers that be, that Moslem fist must be essentially more "pure" than many other style. It was adopted as the basis of contemporary long fist and many of the first long fist sets issued by the government office were based on Cha Chuan. In certain widely accepted styles the Moslem presence has also been strong. In Hsing-I for instance, many of the great practitioners were of Moslem origin and it may be that the real rudiments of the style are from Moslem culture. In weapons work, too, Moslem fist is well-represented with Jiao Men boasting five tiger hook sets and over ten saber sets. And last but not least, Moslems were often placed in the dangerous position of bodyguard because of their relatively nonaffiliated status with other Chinese elements. Rising to this occasion they developed the beautiful and powerful style known throughout the world as Pa Chi Ch'uan (BaJiQuan - Eight Extremes Boxing). As the Chien Lung emperor stated in the 19th century, "For health we have Tai Chi, for protection Pa Chi." So universally recognized was Pa Chi as one of the most no-nonsense styles that even in our present era it was considered without equal. Witness the fact that a famous Pa Chi teacher was the instructor of Chiang Kai Shek's, Mao Tse Tung's and Sun Yet Sen's bodyguards. That's right the men who protected these three sworn enemies were all kung-fu brothers. In modern times we are constantly assailed with representations of Arab culture as seemingly comprised of religious fanatics and terrorists. Martial arts training is a nice antidote for cultural ignorance. We are allowed through it to replicate the actions practiced by different people from different cultures who lived centuries from us. We cannot only improve our health and our skills but don another person's shoes and walk down his path, or in the case of Tan Tui, ten roads.
Walaupun ada yang membenarkan bahwa ilmu bela diri Kung Fu berasal dari
orang cina-muslim. Sekiranya kurang tepat kalau dikatakan bahwa KUNGFU
(walaupun secara umum) adalah beladiri yang khususnya muslim. Sebab sejarah
kungfu di cina sudah demikian panjang dan lama. Kalau Shaolin mau dijadikan
patokan, itu sudah sekitar 2000-an tahun lalu, jadi jelas sebelum jaman
Rasulullaah SAW.
Istilah KUNGFU sebenarnya dipopulerkan oleh Bruce Lee, yg mempunyai arti
asal: "keahlian yg diperoleh sebagai hasil tempaan yg terus menerus".
Beladiri secara umum lebih cocok digunakan istilah WUSHU (yg sekarang
menjadi istilah resmi KungFu di dunia).
Beladiri sebagai kegiatan pertahanan diri tentu saja usianya mungkin sudah
setua jaman anaknya Nabi Adam AS (perkelahian Habil-Qabil). Teknik2 yg
kemudian berkembang dan disistemasi menjadi pengetahuan dan ketrampilan
khusus tentu juga tidak hanya berkembang di satu wilayah. Satu hal yg amat
berperan adalah kondisi wilayah sekitar, hal inilah yg sering mencirikan
satu teknik dibanding yg lainnya.
Ummat muslim di cina sudah ada sejak jaman Khulafaur Rasyidin. Dalam
sejarah cina mereka dikenal sebagai komunitas yg tertib, rajin, cerdas
(dalam bidang ilmu pengetahuan), dan mahir berperang. Kalau shaolin terkenal
sebagai pusatnya beladiri perorangan, maka komunitas muslim adalah kiblatnya
beladiri untuk peperangan besar.
Di jaman dinasti Ming (satu dinasti sebelum dinasti Qing, kaisar-kaisar Qing
berkebangsaan manchu, bukan cina-han, dinasti
terakhir di cina), banyak dari jendral2 besarnya adalah muslim, termasuk yg
bersama para Wali Songo (sebagian besar Cina) menyebar Islam ke Jawa dan
kemudian menumbangkan Majapahit yang hindu. Pendiri kerajaan Pajang, Sunan
Trenggono atau Tung Ka Lo dan Sunan Demak atau Raden Fatah Jin Bun,
merupakan dua contoh dari sekian banyak jenderal cina-muslim yang
bersumbangsih demi ukhuwah islamyah. Kemampuan dan strategi berperang
mereka yg brilian diakui oleh dinasti Ming maupun bangsa portugis dan
komunitas muslim di Jawa saat itu sangat dihormati dan disegani.
Namun pada saat dinasti Ming runtuh, dan dinasti Qing yang manchu naik (abad
ke-17), maka mulailah masa2 suram komunitas muslim di Cina. Dua kekuatan
utama yg dihancurkan oleh Dinasti Ming adalah: Shaolin (utara dan akhirnya
juga yg selatan) dan komunitas muslim. Keduanya memiliki kesamaan: sebagai
komunitas yg teratur dan sama2 ahli beladiri/peperangan.
Masjid2 dihancurkan sebagaimana juga dua kuil utama shaolin. Para aktifis
dan jago2 beladirinya dikejar ditangkapi dan disiksa. Sebagian besar mereka
menyebar secara underground dan mengembangkan ketrampilan beladirinya tidak
memakai nama2 shaolin atau nama2 muslim, melainkan menggunakan nama2
keluarga. Muslim waktu itu ditangkapi dan dikepalanyadiberi cap (seperti cap
utk sapi) yg berbunyi: "pecundang"...
Sampai saat ini, baik style shaolin maupun style kungfu komunitas muslim
masih terjaga rapi. Beladiri kungfu komunitas muslim ini lebih banyak berupa
jangkauannya panjang karena berkembang di wilayah Cina yang lebih ke utara.
Senjata2 yg menjadi ciri khas mereka juga banyak berupa senjata2 panjang
utk pertempuran (misalnya tombak/toya). Satu aliran/style kungfu muslim yg
disegani adalah: TAN TUI.
Ketika pada tahun 1990 Komite Wushu Nasional Cina menetapkan 7 nomor
pertandingan wushu utk penyeragaman dari sekian banyak aliran/style yg ada,
maka kungfu muslim sangat berpengaruh di minimal dua nomor: Chang Quan
(tangan kosong aliran panjang) dan Tombak (spearplay). Jurus2 mereka
diadopsi di dua nomor ini dengan cukup dominan.
Semoga ada manfaatnya, fakta sejarah tersebut yg diselewengkan dan
disembunyikan sejak zaman VOC sampai Orde Baru, akhirnya tentulah akan
sia-sia, politik SARA yang mereka pakai untuk berkuasa terus.
Iwan Subali
In 1219 when after capturing China Chingiz-khan went to the west many arabians and persians became moved to China. Such people were called "semu" ("men with colored eyes"), they had less rights than mongolian but more than chinese. In official documents of Yuan dynasty they were called "huihui". Moved on the east moslem infantrymen and artillerymen in 1275, due to order of founder of Yuan dynasty "in all places entered in communities of border inhabitants", became peasants. From these people, arabian immigrants came to China on ships during Tang and Song dynasties, and chinese men converted to islam formed "huizu" nation ("moslems"). Huizu lived on state lands only. Conditions of living were bad, there were many rebellions. It is known that when Zhu Yuanzhang overthrew Yuan dynasty, many of his soldiers and officers were moslems. Most known of them were generals Chang Yuchun and Hu Dahai. At the end of Ming dynasty there was Ma Shouying in Shaanxi province. His nickname was "lao huihui" ("old moslem"), and nickname of his detachment was "lao huihui ying" ("batallion of old moslem"). They went through battles to North-West and joined to Cao Wangli's rebellion.
During Qing dynasty moslems were under a great supression, and there were rebellion after rebellion.
During more than seven hundred years huizu was indissoluble connected with wushu. They considered wushu as self-defence and as holy action, stimulated moslem's spirit.
Moslems are wide spread in China. During many years they exchanged martial arts with hanzu, took good sides. It is hard to say which styles of wushu are moslem styles. Below are styles popular among all the huizu.
- Tantui
- Chaquan
- Liuhequan
- Stick fighting, also known as Ali's stick. North-Western art of stick fighting includes one-head stick of mother and son and two-heads stick-stripe.
- Pole of Sha family and spear of Ma family. These styles are mentioned in the general Qi Jiguang's "New book of notes about achivements" (Ming dynasty). Now there are no specialists of these styles.
- Huihui shiba zhou
- Qishi
- Tongbeiquan
- Piguaquan
- Bajiquan
- Xinyiliuhequan (fist of heart, mind and six coordinations), a brunch of xingyiquan (southern version, from Henan province). Main part - "10 big forms" and "4 cock's grasps". According to legends this style is transferred from moslem wushu master Ma Zhuangtu, who lived during Qing dynasty. Now this style is popular among moslems of Shanxi and Ningxia.
- Art of sword jian. It is said that in the past there were such a sets as "Suleiman's sword" and "Koran's sword"
Biara shaolin yang terkenal, didirikan oleh pendeta buddhis india, batou, pada tahun 495 M, di bawah perlindungan kaisar Xiao Wen DI dari dinasti Wei utara. Pada tahun 527 M, budhidarma, seorang pangeran india yang meninggalkan kehidupan mewahnya untuk menjadi pendeta buddha, tida disana untuk mengajarkan buddhisme. Ketika ia menemukan para pendeta terlalu lemah untuk mempraktikkan meditasi, jalan utama untuk pencerahan, ia mengajarkan mereka serangkaian latihan luar yang dikenal sebagai Delapa Belas Tangan Lohan, dan satu sisatem l;atihan dalam yang dikenal sebagai kitab Metamorfosa otot.
Shaolin bukanlah biara biasa adalah biasa bagi kaisar cina sepanjang sejarah untuk berdoa kepada surga setahun sekali untuk kedamaian dan kemakmuran rakyat, dan mereka melaqkukan upacara di salah satu gunung suci cina. Gunung song tempat biara shaolin terletak adalah gunung suci pusat. Oleh karena itu, shaolin sering dikunjungi oleh kaisar-kaisar dan jenderal-jemnderal besar. Beberapa jenderal pensiun ke biara untuk mencari pencerahan spiritual. Merekla adalah ahli beladiri dan ketika mereka melihat para bhiksu berlatih Delapa Tangan Lohan, mereka mengembangkan gerakan fisik menjadi kung fu, yang kemudia dikenal sebagai kung fu Lhan Shaolin. Mereka juga mengembangkan Metamoforsa Otot menjadi chi kung shaolin
Ada beberapa jenis kung fu shaolin, masing-masing dengan ciri khusus yang sesuai bagi orang yang berbeda dan kebutuhan berbeda. Namun, bentuk dasarnya adalah kungfu lohan, yang merupakan gaya bagus untuk pengikut yang kuat dan besar karena ini menggunakan keuntungan ukuran dan kekuatan. Chi kung shaolin juga dikembangkan menjadi berbagai jenis, tetapik metamorfosa otot tetap merupakan pendekatan dasar untuk latahian tenaga dalam kungfu shaolin.
Kondisi di biara shaolin sangat ideal untuk latihan kung fu. Lingkungannya ada di daerah paling indah di china dan para bhiksunya tidak terganggu masalah duniawi. Kungfu tidak hanya dipraktekkan sebagai sistem pertarungan, tetapi dipelajari dan diteliti sebagai seni oleh murid yang cerdas dan disilpin yang memiliki banyak waktu dan juga oleh beberapa master terbaik dalam kerajan yang mengajarinya. Pencapaiannya kumulatif, dengan setiap generasi master menambahkan teknik dan keterampilan baru pada suatu kumpulan gerakan yang terus berkembang. Tidak heran bahwa biara itu menjadi pusat utama untuk latihan kungfu.
Kungfu shaolin pada mulanyua hanya diajarkan kepada para bhiksu tetapi kemudian murid awam juga diterima. Setelah lulus murid awam ini dan juga beberapa bhiksu menyebarkan ke berbagai bagian negara untuk mengajarkan seni ini. Kemudian pepatah ‘kung fu shaolin adalah terbaik di dunia’ diterima luas. Di kemudian hari, kungfu dhaolin dibagi menjadi shaolin utara dan shaolin selatan
Volume seni shaolin meluas sangat banyak sehingga tak seorang pun fdapat menpelajari selama hidupnya dan spesialisasi pun di mulai. Berbagai keterampilan secara tradisonal dikenal dengan 72 seni shaolin. Seni ini luas dan menyeluruh untuk kesehatan, perkembangan pribadi dan pencerahanb dan beragam untuk menyewsuaikan pada kebutuhan berbeda bagi orang muda, setengah baya dan tua. Oleh karena banyaknya seni yang ditambahkan selama bertahun-tahun, jumlah ini sebenarnya lebih dari 72. untuk menpertahankan tradisi, ada perubahan kecil pada periode berbeda terhadap seni itu yang melebihi 72, namun seni utamanya tetap sama. Beberapa contoh di antaranya tangan besi, fondasi bungan persik, seni meringankan tubuh, metode pemurnian hati dan berbagai teknik untuk meningkatkan organ indra yang berbeda. Tujuh pulu dua seni shaolin karenanya lebih dari sekedar sistem pertarungan.
Dinasti Qing menyaksikan pertumbuhan banyak gaya dari kungfu shaolin selatan. Selain biara shaolin utara di provinsi Henan, biara shaolin lain di bangun di distrik Quanzhou di provinsi Fujian selama dinasti Ming (1368-1644). Kungfu yang diajarkan di sini disebut sebagai kungfu shaolin selatan, untuk menbedakannya dari kungfu shaolin utara dari biara Henan. Kung fu shaolin selatan dicirikan oleh kudfa-kuda yang solid, lengan yang kuat dan teknik tangan yang luas, berlawanan dengan lompatan indah, gerakan dan serangan tendagan yang bervariasi dari kungfu shaolin utara.
Biara quanzhou menjadi pusat bagi kaum revolusioner selama dinasti qing. Menurut legenda, kaisar qing Yong Zhen saendiri menyusup ke biara sebagai bhiksu untuk menpelajari kungfu shaolin. Ia kemudian mengirimkan tentara, dibantu olehj lama tibet yang merupakan ahli beladiri untuk menghancurkannya. Oleh karena itu, ketika tibet diserrang oleh tentara komunis dan lama tibet melarikan diri ke bagian lain dunia. Beberapa orang menganggapnya sebagai balasan karma. Di sisi positif, seperti master shaolin yang melarikan diri untuk menyebarkan ajaran shaolin kemana-mana, lama tibet melarikan diri kebagian dunian lain untuk menyebarkan buddhisme vajrayana.
Salah satu bhiksu shaolin yang melarikan diri mengubah namanya menjadi jiang nan untuk menghidari kejaran tentara. Setelah 50 tahun berkelana, dengan satu tujuan untuk menemukan pewaris yang cocok, ia mencapai thailand selatan disana ia bertemu dengan master kungfu fengyang yang terkenal dengan pukulan mata funik dan mencari nafkah sebagai seniman yang menpertunjukan kung fu. Bhiksau shaolin tua ini menonton pertunjukkannya setiap malam. Kemudia, suatu malam setelah kerumunan bubar, ia berkata kepada yang fang kun, ‘anak muda, kau telah mendapatkan banyak tepuk tangan untuk pertunjukkanmu, tapi kungfumu hanya seni tangan untuk pertunjukanmu, bukan kungfu asli.’
Sebelum yang fang kun dapat mengatakan apa pun, yang mulia jiang nan melanjutkan, ‘jangan dengarkan kata-kataku. Ujian kungfu adalah pertarungan. Mari cari tempat yang cocok dan kita melakukan pertandingan persahabatan untuk menguji apakah kungfumu hanya seni pertunjukan atau kungfu asli.’
Pada pertarungan berikutnya, yang mulia jiang nan, yang sudah berusia 80 tahun mengatasi yang fa kun yang berusia 20 tahun seperti anak kecil. Ketika yang memohon kepada bhiksu itu untuk menerimanya sebagai murid, master shaolin tua itu meminta satu syarat. ‘tinggallah bersamaku di puncak gunung dan mulai latihan dari awal.’
Lima puluh tahun kemudian, yan fa kun mengajarkan seni shaolin pada ho fatt nam yang mempraktikkan tinju siam, silat melayu dan tujuh gaya kungfu, dan mencari nafkah sebagai petarung tinju siam. Yang fa kun juga meminta satu syarat ‘kau harus mulai dari awal,’ katanya kepada ho fatt nam.
Di selatan cina, lima gaya shaolin selatan utama dinamakan sesuai keluarga para master. Menggunakan nama ini bukannya istillah ‘shaolin’ adalah salah satu cara menghindari perhatian tentara qing. Lima gaya utama adalah Hongjiaquan (kungfu keluarga hong), liujiaquan (kungfu keluarga liu), caijiaquan (kungfu keluarha cai, lijiaquan (kungfu keluarga li) dan mojiaquan (kungfu keluarga mo).
Dari kelima gaya ini, hojiaquan adalah yang paling terkenal. Ini sering disingkat menjadi hongquan, yang diucapkan sama dengan hongquan dari kung fu shaolin utara. Hongjiaquan dinamakan sesuai master shaolin, hong xi guan dan sangat terkenal dengan kuda-kudanya yang solid dan pukulannya yang kuat
Liujiaquan yang dinaman menurut liu san yan terkenal untuk teknik tongkatnya. Caijiaquan dinamakan menurut cai vbai da dan terkenal untuk teknik tendangan. Lijiaquan dinamakan menurut li you san dan terkenal dengan poukulan mata funik. Mojiaquan dinamakan menurut mo qing jiao, juga terkenal untuk tendangannya
Beberapa master shaolin menkhususkan pada jurus tertentu yang diambil dari gerakan dan sifat hewan, seperti kekuatan macan dan keanggunan bangau jadi selain menamai sesuai nama master, beberapa dinamai sesuai dengan jurus utamannya, seperti lungxingquan atau kungfu gaya naga, heihuquan atau kung fu macan hitam dan paihequan atau kungfu bangau putih.
Banyak gaya yang muncul dari ‘induk’ kungfu shaolin yang paling awal mungkin gaya taiju, dikenal dalam bahasa tiongkok sebagai taiju changquan (gaya kepalan panjang) dari kaisar song. Istilah panjang merujuk pada gerakan bersambungan dalam gerakan jurus mereka yang menyerupai aliran terus menerus dari sungai panjang, nama yang diberikan orang tionghoa untuk yangtze kiang. Oleh karena itu dalam pertunjukkan kungfu shaolin utara, gerakan individual tidak ditampilkanh secara terputus tetapi dalam gerakan mengalir dari 10-20 gerak yang ditampilkanm tanpa henti seperti satu gelombang panjang, dikuti gelombang lain dari 10-20 gerak. Satu jurus dari 60 gerak, misalnya ditampilkan dengan hanya empat atau lima perhentian pendek, seolah-olah memuat empat atau lima gerak panjang bersambungan. Gaya taiju ditemukan pada abad ke-10 oleh Zhao Kuang Yin, kaisar pendiri dinasti song, yang sangat berutang budi atas pembangunan kekaisaran pada kungfu shaolin.
Kemudian, istilah changquan atau kepalan panjang mulai digunakan untuk gaya kungfu lain di mana ada gerakan merentang cepat, bertenaga dan lompatan indah serta teknik menendang; semua itu dilaksanakan seperti gelombang yang bersambungan. Semua gaya changquan diambil langsung dari shaolin utara atau sangat dipengaruhi olehnya. Gaya utama dari changquan saat ini adalah chaquan, huaquan (kungfu bunga), huaquan (kungfu inti), hongquan dan baoquan.
CHAQUAN, ATAU KUNGFU CHA, DIKEMBANGKAN OLEH JAMIL, SEORANG MUSLIM TIONGHOA YANG TINGGAL PADA DINASTI MING AKHIR. Istilah ini diambil dari namanya; dalam bahasa tionghoa jamil diucapkan ‘cha-ni-l. CHAQUAN KADANG-KADANG DIKENAL SEBAGAI KUNGFU MUSLIM. Karena ia sangat populer di antar masyarakat muslim di cina barat laut.
Hongquan atau kungfu hong terkenal di propinsi shanxi dan shicuan. Ini didirikan oleh bhiksu shaolin terkenal jue yuan dari dinasti yuan, dan dinamai menurut dua jurus dasar hong kecil dan hong besar. Ini adalah gaya populer dari kungfu shaolin utara.
Dalam bahasa tionghoa, kata hong, yang berarti ‘merah’ diucapkan sama seperti dengan kata lain yang berarti ‘besar’ yang merupakan nama keluarga yang sangat umum. Salah satu master shaolin selatan adalah hong xi guan yang hidup pada masa dinasti qing, dan ada gaya terkenal dari kungfu shaolin selatan yang dinamakan menurut namanya yang juga disebut hoongquan. Meskipun dua kata itu ditulis terpisah dalam huruf tionghoa, keduanya sama apabila ditulis dalam huruf latin, jadi kita perlu memastikan gaya hongquan yang mana dimaksudkan.
Baoquan atau kungfu meriam adalah gaya sangat konu. Dokumen menunjukkan bahwa bhiksu shaolin terkenal, yuan zhong, menpertunjukkan baoquan dihadapan kaisar pertama tang selama perlantikannya sebagai jendral. Ini disebut baoquan karena terkenal akan kecepatan dan tenaganya. Ada 12 teknik dasar dalam gaya ini, dikenal sebagai 12 meriam.
Huaquan atau kungfu bunga, ditemukan oleh master shaolin, gan feng chi pada dinasti qing, diskusi umun tentang kungfu bunga, prototip gaya ini yang di tulis oleh sang master sendiri, masih ada dan telah dicetak ulang. Gaya kungfu ini menekankan teknik cepat dan pendek. Serangan balik pada lawan dengan gerakan membingunkan. Ini berguna bagi lawan kecil yang berhadapan dengan lawan yang lebih besar. Ini menekankan urutan pertempuran pendek untuk pertarungan praktis ketimbang jurus yang lengkap dan panjang untuk demontrasi.
Ejaan latin hua, yang berarti bunga, diucapkan pada nada pertama. Ada gaya kungfu lain yang diejakan huaquan, tetapi dengan hua yang berarti ‘kecantikan’ atau ‘inti’ yang diucapkan pada nada kedua. Tidak ada kesulitan antara kedua gaya ini dalam bahasa tionghoa karena baik bentuk tertulis atau ucapanannya berbeda; tetapi masalah muncul apabila kedua gaya itu ditulis dalam ejaan latin karena tidak ada bedanya.
Huaquan yang berarti kung fu inti menggabungkan jing, chi dan shen, tiga ciri utama kungfu, dalam satu kesatuan. Jing adalah tenaga dalam, chi adalah enmergi intrinsik dan shen adalah kekuatan pikiran. Filosofi dasar dari huaquan berada pada prinsip empat serangan, delapan metoda dan dua belas jurus.
Empat serangan adalah memukul, menendang, menjatuhkan dan mengcekeram. Delapan metoda adalah tangan, mata, tubuh, gerak kaki, kekuatan fisik, tenaga dalam, energi intrinsik dan kekuatan pikiran. Dua belas bentuk adalah bergerak seperti gelombang, diam seperti gunung, naik seperti kera, merunduk sep[erti layang-layang, berdiri seperti ayam jantan, stabil seperti pohon cemara, berputar seperti roda, merentang seperti busur, ringan seperti daun, berat seperti besi, tajam seperti elat dan cepat seperti angin.
Kesadaran nasional yang timbul dengan melawan penjajah Belanda membawa penghargaan baru terhadap pencak silat yang dipandang sebagai salah satu corak kebudayaan nenek moyang kita atau menurut Presiden Sukarno sebagai "pusaka turun temurun yang menghiasi serta berguna bagi nusa dan bangsa Indonesia". Semakin kiat masyarakat kita mencari kebesaran nasional dan kebudayaan sendiri, semakin kiat pula keinginan untuk memahami dan mengembangkan pencak silat.
Usaha melihara pencak silat pada masa awal Republik Indonesia memang diperlukan oleh karena ilmu beladiri khas Melayu ini sedang mengalami krisis. Banyak perguruan yang tidak berfungsi lagi, dan tidak sedikit tokoh dan pendekar yang mengasingkan diri dari dunia persilatan. Hal ini disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi di negara kita yang baru merdeka. Pengaruh lain tidak adanya rangsangan dari luar yang dapat mendorong perkembangan pencak silat. Selama penjajahan Belanda dan Jepang pencak silat mempunyai peran yang hakiki di masyarakat sebagai sarana serangan dan beladiri, tetapi dengan perubahan jaman belum ditemukan arti dan fungsi yang sesuai dengan masa perdamaian.
Dengan timbulnya kesadaran bahwa pencak silat perlu dikembangkan, maka dipandang penting mendirikan sebuah organisasi yang bersifat nasional agar dapat membina kehidupan pencak silat di seluruh Indonesia. Cita mulia ini tidak dapat direalisir dengan mudah, oleh karena banyak perguruan pencak silat yang masih menutup diri, bersaing atau konflik karena perpecahan. Kalangan pendekar juga terpisah karena afiliasi partai atau loyalitas kepada suku yang berbeda. Selain itu masih banyak pendekar yang tidak mau bekerja sama karena merasa jagoan di daerahnya.
Namun pada akhirnya, ungkapan rasa kecintaan terhadap pencak silat dituangkan dalam berdirinya satu organisasi yang mengayomi aliran-aliran pencak silat yang tersebar di Nusantara. Pada tanggal 18 Mei 1948 didirikan Ikatan Pencak Seluruh Indonesia yang sesudah kurang lebih 25 tahun akan mengganti nama menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Pada kongres kedua yang diadakan antara 21-23 December di Yogyakarta diputuskan untuk mengkukuhkan IPSI dan menyusun Pengurus Besar baru sebagai Ketua Umum Mr. Wongsonegoro -yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri P Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K, sekarang Depdikbud)-
Wakil Ketua Umum Sri Paduka Paku Alam dan Penulis I Sdr. Rachmad.
Dengan mendirikan organisasi ini diharapkan bahwa pencak-silat dapat digerakan dan disebarluaskan sampai ke pelosok-pelosok sebagai suatu ekspresi kebudayaan nasional. Masyarakat juga mengharapkan bahwa pencak silat distandarisasi agar dapat diajarkan sebagai pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, dan dapat dipertandingkan dalam even-even olah raga nasional. Sesuai dengan keinginan tersebut, langkah pertama yang diusahakan IPSI adalah terbentuknya suatu sistem pencak silat nasional yang dapat diterima oleh seluruh perguruan yang ada di tanah air. Untuk sementara waktu, diadopsikan sebagai 'standaard-system' pelajaran pencak silat dasar yang sudah disusun oleh RMS Prodjosoemitro dan diajarkan di sekolah-sekolah di wilayah Solo dengan dukungan PP dan K Balai Kota Surakarta. Hasil dari usaha standarisasi semula ini dapat diamati pada Pekan Olah-Raga Nasional (PON) ke-I yang diadakan pada tanggal 8-12 September 1948 di Solo. Lebih kurang 1000 anak mengadakan satu demonstrasi pencak dengan gerakan yang standar dan sinkronis. Pada even olahraga nasional pertama ini, pencak juga dilombakan sebagai demostrasi dalam kategori solo dan ganda tangan kosong/senjata, suatu tradisi yang akan terus berlangsung sampai PON ke-VII di Surabaya pada tahun 1969.
Di tahun-tahun berikut di beberapa daerah juga disusun paket pelajaran dengan metode-metode baru yang praktis agar pencak silat dapat diajarkan dengan muda kepada segenap lapisan masyarakat. Misalnya, di daerah Yogyakarta, pelajaran pencak diberikan melalui gelombang Radio Republik Indonesia (RRI). Tiap hari Senin, Rabu dan Saptu, pukul jam 6,30 pagi, pemirsa dapat mendengar instruksi-instruksi gerak oleh pencipta S. Winadi (1951:3).
Sistim-sistim tersebut belum dapat memenuhi harapan masyarakat, sehingga peralihan pencak silat dari sarana bela diri menjadi sejenis senam jasmani memakan waktu yang cukup lama. Tim ahli teknik IPSI yang terdiri dari pakar-pakar dari berbagai aliran harus mempelajari ratusan kaidah dan gerak dan mencoba menyatukan mereka tanpa menghilangkan warna-warni yang khas. Mereka juga harus menyesuaikan sistim pelajaran tradisional pencak silat yang berpatokan kepada jurus (seri atau kumpulan gerakan) dengan prinsip olah raga 'modern'. Selain mengalami kesulitan teknis dalam mengembangkan metode dan sistematika olah raga yang dapat diterima oleh semua pihak, IPSI juga mendapat resistensi dari kalangan pendekar tradisional yang enggan menerima pemikiran-pemikiran baru karena tidak menginginkan reduksi pencak silat hanya kepada satu bentuknya, yaitu olah raga. Mereka khawatir bahwa aspek integral yang lain, khususnya aspek seni dan aspek spiritual, akan diabaikan dan tidak dapat dirasakan lagi sebagai unsur-unsur yang saling terkait dalam satu totalitas sosio-kosmik.
Kesulitan juga datang dari luar dunia pencak silat, karena persaingan yang ketat dari bela diri impor. Antara 1960-1966, pada waktu terjadi kemerosotan ekonomi dan politik negara yang menimbulkan ketidakberdayaan IPSI, karate secara resmi masuk Indonesia dan dengan tangkasnya memasuki kalangan pelajar dan ABRI. Dari mulanya, karate dan judo dipraktekkan sebagai olah raga dan dipertandingkan di depan umum. Penerimaan yang positif terhadap bela diri asing, memaksa kalangan pencak silat untuk berpikir dan berbuat lebih baik dalam usaha mengembangkan pencak silat olah raga, atau seperti ditulis oleh salah satu koran masa itu "kehadiran karate di Indonesia merupakan cambuk yang benar-benar efektif untuk 'membangunkan' kalangan pencak dari tidurnya".
Penggeseran konseptual akhirnya terjadi, meskipun beberapa pendekar keberatan makna pencak silat sebagai unsur kebudayaan dalam arti luas dipersempit agar aspek olah raga dapat diutamakan. Sesudah 10 tahun lebih IPSI bergantung pada Kementrian PP dan K pada tahun 1961 dipindahkan ke departmen olah raga. Sesudah itu dibentuk satu komisi teknis khusus untuk merencanakan sebuah paket pencak silat olah raga untuk dipertandingkan. Untuk mendapatkan sistim yang paling effektif diadakan beberapa kali uji coba pertandingan full body contact.
Pada akhirnya IPSI berhasil memasuki pencak silat sebagai cabang olah raga prestasi pada PON VIII yang diselenggarakan pada tanggal 4-15 Augustus 1973 di Jakarta. Jumlah daerah yang ikut bertanding 15 dengan jumlah 128 pesilat terdiri dari 106 putra dan 22 putri. Keberhasilan ini akan diulangi lagi sesudah dua tahun, dengan diadakan kejuaraan nasional pencak silat olah raga untuk pertama kali di Semarang, pada tanggal 27 April 1975. Sistim pertandingan yang menggunakan pelindung dada ini, di tahun-tahun berikutnya akan disempurnakan sampai pada tahun 1980 akan diakui di dunia internasional dan tetap dipergunakan sampai masa kini.
Berkat kerja keras dan kepeawean pengurus IPSI bermula dari periode kepengurusan Mr.Wongsonegoro (1948-1973), Tjokropranolo (1973-1978), dan Eddie M. Nalapraya (1978-1998), serta dukungan pemerintah dan Presiden Republik Indonesia Suharto sebagai Pembina Utama, IPSI dengan cepat menyebar luas ke dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, pada tahun 1970an IPSI mendirikan cabang di tiap wilayah, dan mulai mengorganisir even-even pencak silat olahraga dan seni pada tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Walaupun intensitas kegiatan sangat bervariasi antara wilayah, kehadiran IPSI sudah menjadi bagian dari pemerintahan daerah.
Penyebaran nasional ini diteruskan sejak tahun 1975 ke luar negeri. Menindak lanjuti upaya ketua terdahulu, yang memulai ekspor sistim pencak silat olahraga ke negeri seberang Malaysia dan Singapore dengan mendapat sambutan tangan terbuka, Eddie M. Nalapraya banyak membuat kebrakan-kebrakan baru dengan memperkenalkan dan menyebarkan pencak silat ke seluruh benua di dunia. Upaya ini diawali pada tanggal 11 Maret 1980 dengan pembentukan Persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa (PERSILAT) bersama dengan negara sumber pencak silat, yaitu Malaysia, Singapore dan Brunei Darussalam dengan tujuan "mengarahkan dan menkordinasikan usaha dan kegiatan melestarikan, mengembangkan dan menyebarkuaskan pencak silat di seluruh dunia serta menjadikan pencak silat sebagai sarana untuk membina persahabatan antara bangsa dan perdamaian dunia". Atas initiatipnya dalam mendirikan wadah internasional ini, dan sekaligus sebagai pengakuan pada perannya dalam memelihara pencak silat dunia, Eddie M. Nalapraya terpilih sebagai Ketua Presidium PERSILAT dibantu oleh Oyong Karmayuda sebagai Sekretaris Jenderal. Di bawah kemimpinannya anggota PERSILAT terus menambah dan kini berjumlah 27 negara.
Dengan pembentukan PERSILAT jalan terbuka untuk mengadakan even-even internasional. Tahun 1982 pencak silat olah raga mulai dipertandingan pada tingkat internasional dengan Invitasi Pencak silat Internasional yang beberapa tahun kemudian akan diganti nama menjadi Kejuraan Dunia. Sejak 1987 pencak silat juga dipertandingkan secara resmi pada SEAGAMES.
Tugas IPSI tetapi belum selesai, karena tuntutan jaman terus bertambah. Sebagai reaksi kepada dominasi pencak silat olahraga dalam agenda IPSI, muncul lagi permintaan untuk melengkapi kembali pencak silat dengan memperhatikan aspek seni dan aspek spiritual. Masyarakat sangat mengharapkan bahwa pencak silat seni dilestarikan dan jika bisa distandarisasi, agar dapat dipertandingan pula di even nasional dan internasional -satu permintaan yang sudah mulai dipenuhi oleh IPSI. Lahirnya pada Kejuaran Dunia di Kuala Lumpur bulan April 1997 satu pendekatan baru yang mengabungkan pertandingan pencak silat olahraga, seni-beladiri dan jurus wiraloka sangat membantu upaya untuk mengembangkan pencak silat secara seutuhnya. Namun, sampai sekarang belum jelas bagaimana aspek spiritual yang menjadi kekayaan perguruan-perguruan Nusantara dapat dikelola, dan jika perlu dirasionalisasikan, oleh IPSI. Dengan begitu cita-cita IPSI belum sepenuhnya tercapai.
Untuk memperkuat organisasinya agar dapat menghadapi tantangan-tantangan baru dan mengantisipasi perkembangan masa mendatang, IPSI dengan dukungan Menpora Haryono Isman, baru saja selesai membangun padepokan pencak silat nasional di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, bersebelahan dengan Taman Angrek Indonesia. Tanah seluas 5,5 ha adalah sumbangan Almarhumah Ibu Negara Tien Soeharto. Beliau juga yang meletakan batu pertama pada 27 November 1994 dan memonitor arsitektur kompleks bangunan yang mayoritas bernafaskan Jawa modern ini. Para pendukung IPSI ini mengharapkan bahwa padepokan dapat menampung pesilat-pesilat dari mancanegara yang mau mendalami ilmu pencak silat. Dengan begitu, mereka ingin mengangkat martabat seni bela diri nenek moyang kita di mata internasional, dan mengonsolidasi posisi Indonesia sebagai negara pelopor pencak silat. Pencak silat adalah milik bangsa Melayu namun kenyataannya pencak silat yang menyebar ke seluruh mancanegara, kebanyakan adalah aliran yang bersumber dari Indonesia. Oleh karena itu Indonesialah tempatnya di mana khalayak peminat dapat mengetahui dan meneliti pencak silat sesuai aspek yang dipilihnya.
Bangunan sangat megah yang sudah diangan-angankan oleh para pendekar pencak silat kini menjadi kenyataan. Sebuah harapan bahwa dengan meningkatkan pemahaman mengenai pencak silat serta terus-menurus mencari masukan dan kajian baru, IPSI dapat menjawab masalah-masalah di atas, maupun persoalan-persoalan lainnya. Sebagai organisasi berskala nasional, IPSI perlu melakukan perencanaan yang terpadu dan mengaktifkan kembali seluruh bagian organisasi dari pusat sampai daerah agar dapat mewakili beraneka ragam aliran yang dibinanya. Mewujudkan semua ini merupakan tantangan bagi para pencinta pencak silat di bawah bimbingan IPSI agar menyumbangkan kegiatan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya: alam sudah tersedia bisakah kita memanfaatkannya? Selamat ulang tahun dan selamat bekerja IPSI!
O'ong Maryono
Peneliti dan pengamat bela diri
Sejarah ilmu tenaga murni “KATEDA” sampai saat ini belum begitu dikenal oleh masyarakat umum, bermula dari diketemukannya kembali pengajaran ini oleh seorang petapa dari himalaya yang bernama Tagashi. Pada tahun 1907 saat ia berusia 20 tahun, Tagashi berpetualang ke Tibet bagian utara. Disana ia menemukan sebuah kitab kulit kuno atau sebuah naskah yang tertulis dalam bentuk simbol-simbol. Selama 40 tahun ia mempelajari buku kuno itu dan membuat penelitian dari buku yang asli yang kemudian dibandingkan dengan buku-buku kuno yang disimpan oleh masyarakat Tibet, Nepal, dan Himalaya sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan dengan menamakan buku itu “TUJUH RAHASIA” dan menterjemahkan simbol-simbol itu menjadi tujuh buah kata yang berbeda. Ia juga berkesimpulan bahwa buku tersebut bermakna suatu tingkatan ilmu manusia dan semua didasarkan pada pernapasan tenaga murni. Pengetahuan itu digunakan untuk perlindungan terhadap lingkungan sekitarnya yang brutal untuk memelihara kedamaian dan keharmonisan. Dengan diciptakannya senjata - senjata peperangan, pengajaran dari kitab ini semakin sedikit dipraktekkan, sampai akhirnya benar - benar dilupakan. Pada tahun 1947 Tagashi memutuskan untuk mengikuti peta yang sedikit jelas terlukis pada halaman akhir dari kitab itu. Ia yakin perjalanan tersebut dibuat oleh seseorang yang terakhir menyimpan kitab itu untuk mencegah kehancurannya. Dia juga yakin bahwa “Tujuh Rahasia” harus disebarkan terhadap sesama manusia, dan setiap orang sepantasnya menjadikan pengajaran itu suatu ilmu pengetahuan. Selama 16 tahun perjalannya melalui Nepal, India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia ia mengajar sekitar 200 murid. Pengajarannya diberikan secara rahasia untuk mencegah mereka menyalahgunakan pengetahuan bela diri ini. Setiap murid – muridnya disumpah untuk merahasiakannya, terutama mereka yang telah berkemampuan sebagai master. Yang sudah mempuyai kemampuan memukul benda – benda keras tanpa terasa sakit atau cedera. Mereka juga harus mampu mengembangkan rasa tanggungjawab berdasarkan pengajaran ini dengan mengajar orang lain dibawah pengawasan intensif dari Tagashi. Pada tahun 1963 tagashi dan 30 orang master tiba di Gunung Bromo Jawa Timur, Indonesia. Disana ia mengalami sebuah penglihatan/visi, yang mana ia melihat sesuatu timbul dari sisi kawah Gunung Bromo itu sama dengan simbol yang digambarkan di kitab. Penglihatan itu membentuk dasar dari yang dia yakini bahwa “Tujuh Rahasia” dapat dicapai, dan ini lebih lagi dari kemampuan dan pengetahuan yang sudah dicapai melalui metode bela diri. Sejak saat itu Tagashi memutuskan untuk tinggal dan menetap di Gunung Bromo untuk menemukan tingkat selanjutnya, atau metode yang dipisahkan dengan kemampuan yang sudah ia capai dari “Tujuh Rahasia”. Selama 6 tahun menetap disana (1963 – 1969) beberapa murid dari Indonesia bertemu Tagashi. Mereka tinggal bersama Tagashi dan seterusnya, dalam rencana meraih tingkatan Mater, mereka diberikan tugas yang khusus untuk membantu Tagashi dalam mencari kunci untuk membuka “Tujuh Rahasia” tersebut. Pada tahun 1969 salah satu seorang Master dari Indonesia meminta ijin untuk menterjemahkan “Tujuh Rahasia” kedalam bahasa sehari – hari, termasuk metode untuk membuka tabir “Tujuh Rahasia” yang pada akhirnya ditemukan oleh master ini. Master ini belum pernah melihat naskah asli tersebut sampai Tagashi mengijinkannya untuk menterjemahkan naskan itu. Ijin ini diberikan karena master ini pada saat di Gunung Bromo mempunyai penglihatan yang sama dengan Tagashi. Metode yang digunakan untuk mencapai “Tujuh Rahasia” disebut, metode Deep silence, yang memungkinkan seseorang untuk mengontrol pikiran, megalahkan kelemahan – kelemahan diri sendiri, sehingga kebebasan dari dalam kemurnian jiwa yang sebenarnya mampu merasakan, melihat dan mendengar. Selama 3 tahun dari tahun 1969 – 1972 master ini menterjemahkan kitab “Tujuh Rahasia” dikesunyian alam di Tibet bagian Utara dimana naskah asli ditemukan, dan kemudian di Gunung Bromo dimana tanda – tanda pertama mencapai “Tujuh Rahasia” ditemukan. Pada bulan Maret 1972 Tagashi menerima hasil terjemahan dari “Tujuh Rahasia”. Dia juga setuju dengan meniadakan tradisi latihan secara rahasia dan selalu tersembunyi dan menggantikannya dengan susunan pengajaran secara terorganisasi dengan tata – tertib dan pengaturannya. Terjemahan dari “Tujuh Rahasia” dinamakan “KATEDA”. Metode pernapasan, pengontrolan otot, gerakan tubuh, konsentrasi, komunikasi Internal Heat, Inner vision dan Inner voice adalah kata – kata yang digunakan sekarang, menggantikan simbol – simbol dari naskah asli. Huruf - huruf KATEDA diambil dari simbol yang tergambar dihalaman terakhir dari kitab “Tujuh Rahasia” yaitu simbol dari sebuah gunung dengan garis pemandu, dan pada bentuk simbol menuju mencapai titik/tingkatan tertinggi. Pada tanggal 22 Januari 1976 Tagashi meninggal dunia pada usia 89 tahun. Jasadnya dikremasi dikawah Gunung Bromo bersama naskah asli tersebut. Hal itu sesuai dengan pesannya yang terakhir. Dia minta, siapapun yang menjadi Maha Guru yang baru harus mengutamakan perdamaian diatas semua pengetahuan yang sudah dicapai melalui metode pengajaran Ilmu Tenaga Murni KATEDA. Pada tahun 1977 dibuka perguruan KATEDA di London – Inggris dengan nama KATEDA Internasional. Tahun 1980 dibuka perguruan KATEDA di Amerika. Tanggal 5 Maret 1981 KATEDA School of Selfdefence di London menjadi pusat dari seluruh perguruan KATEDA dari berbagai negara sampai tahun 1991. Pada bulan Oktober 1989 didirikan perguruan KATEDA di Menado – Sulawesi Utara dengan nama FOKUS ( Federation of KATEDA United Societies) Indonesia. Tahun 1992 di Surabaya – Jawa Timur dibentuk perguruan KIETA ( KATEDA Inernational & Enesty Teaching Association) Indonesia yang akhirnya menjadi pusat dari seluruh organisasi/perguruan ilmu Tenaga Murni KATEDA. Sekarang ilmu Tenaga Murni “KATEDA” mengingat akan selalu mengajarkan pada manusia yang ditujukan untuk kesehatan dan perdamaian. Ilmu Tenaga Murni “KATEDA” – pengajaran dari Inner peace (perdamaian) yang dulu pernah terlupakan, sekarang bangkit kembali pada setiap orang yang menyayangi kesehatan dan kedamaian hidup dalam kehidupan manusia dan bukannya kehancuran atas peperangan
Dari beberapa sumber :
http://www.sindo.org/index.shtml
http://www.kixa-international.com/index.html
http://www.irannearu.com/History.php
mailto:enquiries@kateda.co.uk;kateda.international@virgin.net
Pidato Kebudayaan Taufiq Ismail
Sederetan gelombang besar menggebu-gebu menyerbu pantai Indonesia, naik ke
daratan, masuk ke pedalaman. Gelombang demi gelombang ini datang
susun-bersusun dengan suatu keteraturan, mulai 1998 ketika reformasi
meruntuhkan represi 39 tahun gabungan zaman Demokrasi Terpimpin dan
Demokrasi Pembangunan, dan membuka lebar pintu dan jendela Indonesia. Hawa
ruangan yang sumpek dalam dua zaman itu berganti dengan kesegaran baru. Tapi
tidak terlalu lama, kini digantikan angin yang semakin kencang dan arus
menderu-deru. Kebebasan berbicara, berpendapat, dan mengeritik, berdiri-menjamurnya
partai-partai politik baru, keleluasaan berdemonstrasi, ditiadakannya SIUPP
(izin penerbitan pers), dilepaskannya tahanan politik, diselenggarakannya
pemilihan umum bebas dan langsung, dan seterusnya, dinikmati belum sampai
sewindu, tapi sementara itu silih berganti beruntun-runtun belum terpecahkan
krisis yang tak habis-habis. Tagihan rekening reformasi ternyata mahal
sekali. Bahana yang datang terlambat dari benua-benua lain itu menumbuh dan
menyuburkan kelompok permissif dan addiktif negeri kita, yang sejak 1998
naik daun. Arus besar yang menderu-deru menyerbu kepulauan kita adalah
gelombang sebuah gerakan syahwat merdeka. Gerakan tak bersosok organisasi
resmi ini tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui
jaringan mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan
yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan elektronik jadi pengeras
suaranya. Siapakah komponen gerakan syahwat merdeka ini? PERTAMA adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam
perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi.
Sebagian berjelas-jelas anti kehidupan berkeluarga normal, sebagian lebih
besar, tak mau menampakkan diri. KEDUA, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada
perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah dan kulit perempuan muda, lalu
menawarkan jasa hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor
telepon genggam, serta mengiklankan berbagai alat kelamin tiruan (kue
pancong berkumis dan lemper berbaterai) dan boneka karet perempuan yang bisa
dibawa bobok bekerjasama. KETIGA, produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat. Seks
siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria
paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial —- ditayangkan pada jam
prime time, kalau pemainnya terkenal. Remaja berseragam OSIS memang menjadi
sasaran segmen pasar penting tahun-tahun ini. Beberapa guru SMA menyampaikan
keluhan pada saya. “Citra kami guru-guru SMA di sinetron adalah citra guru
tidak cerdas, kurang pergaulan dan memalukan.” Mari kita ingat ekstensifnya
pengaruh tayangan layar kaca ini. Setiap tayangan televisi, rata-rata
170.000.000 yang memirsa. Seratus tujuh puluh juta pemirsanya. KEEMPAT, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus
ribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer,
anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya, dapat diakses
tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu,
Rotterdam mau pun Klaten. Pornografi gratis di internet luarbiasa besar jumlahnya. Seorang sosiolog
Amerika Serikat mengumpamakan serbuan kecabulan itu di negaranya bagaikan
“gelombang tsunami setinggi 30 meter, dan kami melawannya dengan dua telapak
tangan.” Di Singapura, Malaysia, Korea Selatan situs porno diblokir pemerintah untuk
terutama melindungi anak-anak dan remaja. Pemerintah kita tidak melakukan
hal yang sama. KELIMA, penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat ¼ sastra dan ½
sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria.
Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya
mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata: “Wah, pak
Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok mereka tidak malu,
ya?” Memang begitulah, RASA MALU ITU YANG SUDAH TERKIKIS, bukan saja pada
penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab selangkang) itu,
bahkan lebih-lebih lagi pada banyak bagian dari bangsa. KEENAM, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan
Jepang dengan teks dialog diterjemahkan ke bahasa kita itu tampak dari kulit
luar biasa-biasa saja, tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya,
misalnya (bukan main) antara siswa dengan Bu Guru. Harganya Rp 2.000.
Sebagian komik-komik itu tidak semata lucah saja, tapi ada pula kadar
ideologinya. Ideologinya adalah anjuran perlawanan pada otoritas orangtua
dan guru, yang banyak aturan ini-itu, termasuk terhadap seks bebas. Dalam
salah satu komik itu saya baca kecaman yang paling sengit adalah pada
Menteri Pendidikan Jepang. Tentu saja dalam teks terjemahan berubah, yang
dikecam jadinya Menteri Pendidikan Nasional kita. KETUJUH, produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru.
Indonesia kini jadi sorga besar pornografi paling murah di dunia, diukur
dari kwantitas dan harganya. Angka resmi produksi dan bajakan tidak saya
ketahui, tapi literatur menyebut antara 2 juta - 20 juta keping setahun.
Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp 3.000, bahkan
lebih murah lagi. Dengan biaya 3 batang rokok kretek yang diisap 15 menit,
orang bisa menonton sekeping VCD/DVD biru dengan pelaku kulit putih dalam 6
posisi selama 60 menit. Luarbiasa murah. Anak SD kita bisa membelinya tanpa
risi tanpa larangan peraturan pemerintah. Seorang peneliti mengabarkan bahwa di Jakarta Pusat ada murid-murid
laki-laki yang kumpul dua sore seminggu di rumah salah seorang dari mereka,
lalu menayangkan VCD-DVD porno. Sesudah selesai mereka onani bersama-sama.
Siswa sekolah apa, dan kelas berapa? Siswa SD, kelas lima. Tak diceritakan
apa ekses selanjutnya. KEDELAPAN, fabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras dari berbagai merek
dengan mudah bisa diperoleh di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi,
mudah masuk kantong celana, harga murah, dijual di kios tukang rokok di
depan sekolah, remaja dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa
batas umur larangan di bawah 18 tahun. Negeri kita pasar besar minuman
keras, jualannya sampai ke desa-desa. KESEMBILAN, produsen, pengedar dan pengguna narkoba. Tingkat keterlibatan
Indonesia bukan pada pengedar dan pengguna saja, bahkan kini sampai pada
derajat produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap sebagai
pengguna, ratusan ribu menjadi korbannya. KESEPULUH, fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin. Korban racun nikotin
57.000 orang / tahun, maknanya setiap hari 156 orang mati, atau setiap 9
menit seorang pecandu rokok meninggal dunia. Pemasukan pajak 15 trilyun
(1996), tapi ongkos pengobatan berbagai penyakit akibatnya 30 trilyun
rupiah. Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin termasuk dalam kategori kontributor
arus syahwat merdeka ini? Karena sifat addiktifnya, kecanduannya, yang
sangat mirip, begitu pula proses pembentukan ketiga addiksi tersebut dalam
susunan syaraf pusat manusia. Dalam masyarakat permissif, interaksi antara
seks dengan alkohol, narkoba dan nikotin, akrab sekali, sukar dipisahkan.
Interaksi ini kemudian dilengkapi dengan tindak kriminalitas berikutnya,
seperti pemerasan, perampokan sampai pembunuhan. Setiap hari berita semacam
ini dapat dibaca di koran-koran. KESEBELAS, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat
permissif, iklan semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan. KEDUABELAS, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila hubungan syahwat
suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian
bayaran merupakan jalan keluarnya. Dalam hal ini prostitusi berfungsi. KETIGABELAS, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat tujuh unsur pertama di
atas, kasus perkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis.
Setiap hari dapat kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD,
satu-satu atau rame-rame, ketika papi-mami tak ada di rumah dan pembantu
pergi ke pasar berbelanja. Setiap ditanyakan apa sebab dia/mereka
memperkosa, selalu dijawab ‘karena terangsang sesudah menonton VCD/DVD biru
dan ingin mencobakannya. ‘ Praktisi aborsi gelap menjadi tempat pelarian,
bila kehamilan terjadi. Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka
aborsi di Indonesia 2,2 juta setahunnya. Maknanya setiap 15 detik seorang
calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal akibat dari salah satu
atau gabungan ketujuh faktor di atas. Inilah produk akhirnya. Luar biasa
destruksi sosial yang diakibatkannya. Dalam gemuruh gelombang gerakan syahwat merdeka ini, pornografi dan
pornoaksi menjadi bintang panggungnya, melalui gemuruh kontroversi
pro-kontra RUU APP. Karena satu-dua-atau beberapa kekurangan dalam RUU itu, yang total kontra
menolaknya, tanpa sadar terbawa dalam gelombang gerakan syahwat merdeka ini.
Tetapi bisa juga dengan sadar memang mau terbawa di dalamnya. Salah satu kekurangan RUU itu, yang perlu ditambah-sempurnaka n adalah
perlindungan bagi anak-cucu kita, jumlahnya 60 juta, terhadap kekerasan
pornografi. Dalam hiruk pikuk di sekitar RUU ini, terlupakan betapa dalam
usia sekecil itu 80% anak-anak 9-12 tahun terpapar pornografi, situs porno
di internet naik lebih sepuluh kali lipat, lalu 40% anak-anak kita yang
lebih dewasa sudah melakukan hubungan seks pra-nikah. Sementara anak-anak di
Amerika Serikat dilindungi oleh 6 Undang-undang, anak-anak kita belum,
karena undang-undangnya belum ada. KUHP yang ada tidak melindungi mereka
karena kunonya. Gelombang Syahwat Merdeka yang menolak total RUU ini berarti
menolak melindungi anak-cucu kita sendiri. Gerakan tak bernama tak bersosok organisasi ini terkoordinasi bahu-membahu
menumpang gelombang masa reformasi mendestruksi moralitas dan tatanan
sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong
kapitalisme jagat raya. Menguji Rasa Malu Diri Sendiri Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang cerita pendeknya yang
dimuat di sebuah media. Dia berkata, “Kalau cerpen saya itu dianggap
pornografis, wah, sedihlah saya.” Saya waktu itu belum sempat membacanya.
Tapi saya kirimkan padanya pendapat saya mengenai pornografi. Begini. Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes, menguji karya saya
itu lewat dua tahap. Pertama, bila tokoh-tokoh di dalam karya saya itu saya
ganti dengan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak atau adik saya; lalu
kedua, karya itu saya bacakan di depan ayah, ibu, mertua, isteri, anak,
kakak, adik, siswa di kelas sekolah, anggota pengajian masjid, jamaah
gereja; kemudian saya tidak merasa malu, tiada dipermalukan, tak canggung,
tak risi, tak muak dan tidak jijik karenanya, maka karya saya itu bukan
karya pornografi. Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan orang-orang itu saya merasa
malu, dipermalukan, tak patut, tak pantas, canggung, risi, muak dan jijik,
maka karya saya itu pornografis. Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya, ketika saya menilai
karya orang lain. Sebaliknya dipakai tolok ukur yang sama juga, yaitu bila
orang lain menilai karya saya. Setiap pembaca bisa melakukan tes tersebut
dengan cara yang serupa. Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu. Rasa malu itu yang kini
luntur dalam warna tekstil kehidupan bangsa kita, dalam terlalu banyak hal. Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik, Playboy, menumpang
taufan reformasi dan gelombang liberalisme akhirnya terbit juga di
Indonesia. Majalah ini diam-diam jadi tempat pelatihan awal onani pembaca
Amerika, dan kini, beberapa puluh tahun kemudian, dikalahkan internet,
sehingga jadilah publik pembaca Playboy dan publik langganan situs porno
internet Amerika masturbator terbesar di dunia. Majalah pabrik pengeruk
keuntungan dari kulit tubuh perempuan ini, mencoba menjajakan bentuk
eksploitasi kaum Hawa di negeri kita yang pangsa pasarnya luarbiasa besar
ini. Bila mereka berhasil, maka bakal berderet antri masuk lagi majalah
anti-tekstil di tubuh perempuan dan fundamentalis- syahwat-merdeka seperti
Penthouse, Hustler, Celebrity Skin, Cheri, Swank, Velvet, Cherry Pop, XXX
Teens dan seterusnya. Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur Playboy Indonesia,
saya sarankan kepada mereka melakukan sebuah percobaan, yaitu mengganti
model 4/5 telanjang majalah itu dengan ibu kandung, ibu mertua, kakak, adik,
isteri dan anak perempuan mereka sendiri. Saran ini belum berlaku sekarang,
tapi kelak suatu hari ketika Playboy Indonesia keluar perilaku aslinya dalam
masalah ketelanjangan model yang dipotret. Sekarang mereka masih malu-malu
kucing. Sesudah dibuat dalam edisi dummy, promosikan foto-foto itu itu di 10
saluran televisi dan 25 suratkabar. Bagaimana? Berani? Malu atau tidak? Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah
menduga-memperkirak an-mengingat akibat yang mungkin terjadi sesudah orang
membaca karya pornografis itu. Sesudah seseorang membaca, katakan cerpen
yang memberi sugesti secara samar-samar terjadinya hubungan kelamin, apalagi
kalau dengan jelas mendeskripsikan adegannya, apakah dengan kata-kata indah
yang dianggap sastrawi atau kalimat-kalimat brutal, maka pembaca akan
terangsang. Sesudah terangsang yang paling penakut akan onani dan yang paling nekat akan
memperkosa. Memperkosa perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil
jadi sasaran. Perkosaan banyak terjadi terhadap anak-anak kecil masih bau
susu bubuk belum haid yang di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja,
pembantu pergi ke pasar, jam 9-10 pagi. Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi dan ditanya kenapa,
umumnya bilang karena sesudah menonton VCD porno mereka terangsang ingin
mencoba sendiri. Merayu orang dewasa takut, mendekati perempuan-bayaran
tidak ada uang. Kalau diteliti lebih jauh kasus yang sangat banyak ini
(peneliti yang rajin akan bisa mendapat S-3 lewat tumpukan guntingan koran),
mungkin saja anak itu juga pernah membaca cerita pendek, puisi, novel atau
komik cabul. Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi, prostitusi, penularan penyakit
kelamin gonorrhoea, syphilis, HIV-AIDS, yang meruyak di kota-kota besar
Indonesia berbarengan dengan akibat penggunaan alkohol dan narkoba yang tak
kalah destruktifnya. Akibat Sosial Ini Tak Pernah Difikirkan Penulis Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah difikirkan oleh penulis
cerpen-puisi- novelis erotis yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya
sendiri, mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke sini dipuji, tidak
pernah bersedia merenungkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh tulisannya.
Sejumlah cerpen dan novel pasca reformasi sudah dikatakan orang mendekati
VCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka membayangkan, bahwa sesudah sebuah
cerpen atau novel dengan rangsangan syahwat terbit, maka beberapa ratus atau
ribu pembaca yang terangsang itu akan mencontoh melakukan apa yang
disebutkan dalam alinea-alinea di atas tadi, dengan segala rentetan
kemungkinan yang bisa terjadi selanjutnya? Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu,
beradik-kakak dengan destruksi yang dilakukan
produsen-pengedar- pembajak- pengecer VCD/DVD porno, beredar (diperkirakan)
sebanyak 20 juta keping, yang telah meruyak di masyarakat kita, masyarakat
konsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia. Dulu harganya Rp 30.000
sekeping, kini Rp 3.000, sama murahnya dengan 3 batang rokok kretek.
Mengisap rokok kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki dan menonton
sekeping VCD/DVD syahwat sepanjang 6o menit itu. Bersama dengan produsen
alkohol, narkoba dan nikotin, mereka tidak sadar telah menjadi unsur penting
pengukuhan masyarakat permissif-addiktif serba-boleh- apa-saja- genjot, yang
dengan bersemangat melabrak apa yang mereka anggap tabu selama ini,
berpartisipasi meluluh-lantakkan moralitas anak bangsa. Perzinaan yang Hakekatnya Pencurian adalah Ciri Sastra Selangkang Akhirnya sesudah mendapatkan korannya, saya membaca cerpen karya penulis
yang disebut di atas. Dalam segi teknik penulisan, cerpen itu lancar dibaca.
Dalam segi isi sederhana saja, dan secara klise sering ditulis pengarang
Indonesia yang pertama kali pergi ke luar negeri, yaitu pertemuan seorang
laki-laki di negeri asing dengan perempuan asing negeri itu. Kedua-duanya
kesepian. Si laki-laki Indonesia lupa isteri di kampung. Di akhir cerita
mereka berpelukan dan berciuman. Begitu saja. Dalam interaksi yang kelihatan iseng itu, cerpenis tidak menyatakan sikap
yang jelas terhadap hubungan kedua orang itu. Akan ke mana hubungan itu
berlanjut, juga tak eksplisit. Apakah akan sampai pada hubungan pernikahan
atau perzinaan, kabur adanya. Perzinaan adalah sebuah pencurian. Yang melakukan zina, mencuri hak orang
lain, yaitu hak penggunaan alat kelamin orang lain itu secara tidak sah.Pezina melakukan intervensi terhadap ruang privat alat kelamin yang dizinai.
Dia tak punya hak untuk itu. Yang dizinai bersekongkol dengan yang melakukan
penetrasi, dia juga tak punya hak mengizinkannya. Pemerkosa adalah perampok
penggunaan alat kelamin orang yang diperkosa. Penggunaan alat kelamin
seseorang diatur dalam lembaga pernikahan yang suci adanya. Para pengarang yang terang-terangan tidak setuju pada lembaga pernikahan,
dan/atau melakukan hubungan kelamin semaunya, yang tokoh-tokoh dalam
karyanya diberi peran syahwat merdeka, adalah rombongan pencuri bersuluh
sinar rembulan dan matahari. Mereka maling tersamar. Mereka celakanya, tidak
merasa jadi maling, karena (herannya) ada propagandis sastra menghadiahi
mereka glorifikasi, dan penerbit menyediakan gratifikasi. Propagandis dan
penerbit sastra semacam ini, dalam istilah kriminologi, berkomplot dengan
maling. Hal ini berlaku bukan saja untuk karya (yang dianggap) sastra, tapi juga
untuk bacaan turisme, rujukan tempat hiburan malam, dan direktori semacam
itu. Buku petunjuk yang begitu langsung tak langsung menunjukkan cara
berzina, lengkap dengan nama dan alamat tempat berkumpulnya alat-alat
kelamin yang dapat dicuri haknya dengan cara membayar tunai atau dengan
kartu kredit gesekan. Sastra selangkang adalah sastra yang asyik dengan berbagai masalah wilayah
selangkang dan sekitarnya. Kalau di Malaysia pengarang-pengarang yang
mencabul-cabulkan karya kebanyakan pria, maka di Indonesia pengarang sastra
selangkang mayoritas perempuan.
Beberapa di antaranya mungkin memang nymphomania atau gila syahwat, hingga
ada kritikus sastra sampai hati menyebutnya “vagina yang haus sperma”.
Mestinya ini sudah menjadi kasus psikiatri yang baik disigi, tentang
kemungkinannya jadi epidemi, dan harus dikasihani. Bila dua abad yang lalu sejumlah perempuan Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan
naik takhta sebagai penguasa tertinggi kerajaan, Sultanah atau Ratu dengan
kenegarawanan dan reputasi terpuji, maka di abad 21 ini sejumlah perempuan
Indonesia mencari dan memburu tepuk tangan kelompok permissif dan addiktif
sebagai penulis sastra selangkang, yang aromanya jauh dari wangi, menyiarkan
bau amis-bacin kelamin tersendiri, yang bagi mereka parfum sehari-hari.Dengan Ringan Nama Tuhan Dipermainkan Di tahun 1971-1972, ketika saya jadi penyair tamu di Iowa Writing Program,
Universitas Iowa, di benua itu sedang heboh-hebohnya gelombang gerakan
perempuan. Kini, 34-an tahun kemudian, arus riaknya sampai ke Indonesia.
Kaum feminis Amerika waktu itu sedang gencar-gencarnya mengumumkan
pembebasan kaum perempuan, terutama liberasi kopulasi, kebebasan berkelamin,
di koran, majalah, buku dan televisi. Menyaksikan penampilan para maling hak penggunaan alat kelamin orang lain
itu di layar kaca, yang cengengesan dan mringas-mringis seperti Gloria
Steinem dan semacamnya, banyak orang mual dan jijik karenanya. Mereka tidak
peduli terhadap epidemi penyakit kelamin HIV-AIDS yang meruyak menyebar
seantero Amerika Serikat waktu itu, menimpa baik orang laki-laki maupun
perempuan, hetero dan homoseksual, akibat kebebasan yang bablas itu. Di setasiun kereta api bawah tanah New York, seorang laki-laki korban
HIV-AIDS menadahkan topi mengemis. Belum pernah saya melihat kerangka
manusia berbalut kulit tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar matanya
kosong, suaranya parau. Kematian banyak anggota kelompok ini, terutama di kalangan seniman di tahun
1970-an, tulis seorang esais, bagaikan kematian di medan perang Vietnam.
Sebuah orkestra simfoni di New York, anggota-anggotanya bergiliran mati
saban minggu karena kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat kebebasan
bablas itu. Para pembebas kaum perempuan itu tak acuh pada bencana menimpa
bangsa karena asyik mendandani penampilan selebriti diri sendiri. Saya
sangat heran. Sungguh memuakkan. Kalimat bersayap mereka adalah, “This is my body. I’ll do whatever I like
with my body.” “Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa saja yang aku suka dengan
tubuhku ini.” Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh mereka itu ciptaan
mereka sendiri, padahal tubuh itu pinjaman kredit mencicil dari Tuhan, cuma
satu tingkat di atas sepeda motor Jepang dan Cina yang diobral di iklan
koran-koran.
Mereka tak ada urusan dengan Maha Produser Tubuh itu. Penganjur masyarakat
permissif di mana pun juga, tidak suka Tuhan dilibatkan dalam urusan.Percuma bicara tentang moral dengan mereka. Dengan ringan nama Tuhan
dipermainkan dalam karya. Situasi kita kini merupakan riak-riak gelombang
dari jauh itu, dari abad 20 ke awal abad 21 ini, advokatornya dengan
semangat dan stamina mirip anak-anak remaja bertopi beisbol yang selalu
meniru membeo apa saja yang berasal dari Amerika Utara itu.
Penutup
Ciri kolektif seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka ini adalah budaya
malu yang telah kikis nyaris habis dari susunan syaraf pusat dan rohani
mereka, dan tak adanya lagi penghormatan terhadap hak penggunaan kelamin
orang lain yang disabet-dicopet- dikorupsi dengan entengnya. Tanpa memiliki
hak penggunaan kelamin orang lain, maka sesungguhnya Gerakan Syahwat Merdeka
adalah maling dan garong genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin dan
narkoba, menjadi perantara kejahatan, mencecerkan HIV-AIDS, prostitusi dan
aborsi, bersuluh bulan dan matahari.***
IPB, 9 Januari 2007.
(Puisi ini ditulis Taufik Ismail, Alumni
FKH-IPB, untuk acara Temu Akbar Alumni IPB, Jakarta, 5 Juli
2003 )
Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini
Tampaklah olehku ratusan ribu desa,
Jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan,
Peternakan, perikanan,
Di pedalaman, di pantai dan lautan,
Terasa olehku denyut irigasi, pergantian cuaca,
Kemarau dan banjir datang dan pergi
Dan tanah airku yang
Digebrak krisis demi krisis, seperti tak habis habis,
Terpincang-pincang dan sempoyongan.
Berjuta wajahmu tampak olehku
Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu,
Garis-garis wajahmu di abad 21 ini
Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang
lalu,
Garis-garis penderitaan berkepanjangan,
Dan aku malu,
Aku malu kepadamu.
Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani di pedesaan.
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani.
Beras yang masuk ke perut kami
Harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi
Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum lagi jadi subjek
Berpulih-puluh tahun lamanya.
Aku malu.
Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan
Bulir-bulir indah, kuning keemasan
Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan
Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan
Tetapi ketika sampai pada masalah penjualan
Kami orang kota
Yang menentapkan harga
Aku malu mengatakan
Ini adalah suatu bentuk penindasan
Dan aku tertegun menyaksikan
Gabah yang kalian bakar itu
Bau asapnya
Merebak ke seantero bangsa
Demikian siklus pengulangan dan pengulangan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Karbohidrat yang setia kalian sediakan
Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan
Sedangkan kami orang perkotaan
Bila kami memproduksi sesuatu
Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan
Kami orang kota akan berteriak habis-habisan
Dan mengacungkan tinju, setinggi awan
Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan
Antara swasembada dan tidak swasembada
Antara menghentikan impor beras dengan mengimpor beras
Swasembada tidak swasembada
Menghentikan impor beras mengimpor beras
Bandul yang bingung berayun-ayun
Bandul yang bingung diayun-ayunkan
Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun lamanya
Aku malu
Didalam setiap pemilihan umum dilangsungkan
Kepada kalian janji-janji diumpankan
Tapi sekaligus ke arah kepala kalian
Diacungkan pula tinju ancaman
Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik
Dan kalian hadapi ini
Antara kesabaran dan kemuakan
Menonton dari kejauhan
DPR yang turun, DPR yang naik
Presiden yang turun dan presiden yang naik
Nasib yang beringsut sangat lamban
Dan tak kudengar dari mulut kalian
Sepatah katapun diucapkan
Saudaraku,
Ditengah krisis ini yang seperti tak habis-habis
Di tengah azab demi azab menimpa bangsa
Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek
Dapatlah kiranya berubah menjadi subjek
Jangka waktunya pastilah lama
Tapi semuanya kita pulangkan
Kepada Tuhan
Ya Tuhan
Tolonglah petani kami
Tolonglah bangsa kami
Amin.
Juli 2003
Cipt : Taufiq Ismail
1. Ada peta dunia berteriak kepada kita minta dibaca
''Telusurilah halaman-halamanku, renangilah waktu
Langkahi dua abad dan apa yang kau lihat?'' Kemudian kita bergegas meluncur di atas halaman peta
Rangkaian adegan orang kulit merah, bangsa kulit hitam,
Kawasan Mexico, Hawaii, Filipina dan Cuba
Kemudian Vietnam, Nicaragua, Israil dan sekitarnya
Setiba di sekitar Eufrat-Tigris badai debu mengotori peta
Di negeri Seribu Satu Malam ini
Terdengar gemuruh Seribu Satu Peluru Kendali 2 Kembali kita meluncur di atas halaman peta yang tua
Nampak bekas bercak darah berwarna sepia di atasnya
Gunung dan sungainya di benua Amerika belahan utara
Di sepanjang halamannya
Kawanan Indian menunggang kuda berlarian
Orang kulit putih menembaki dan mereka berjatuhan
Orang kulit hitam dianiaya massa bergelimpangan
Mereka ngilu menyanyikan lagu blues penuh kesedihan Lihatlah separuh Mexico ditaklukkan
Hawaii dan Filipina jadi jajahan
Ratusan ribu penduduk Filipina sasaran pembunuhan
Jenderal Aguinaldo yang memproklamirkan kemerdekaan
Tak diberi pengakuan dan bangsanya tetap jadi jajahan
Spanyol dibayar 20 juta dollar sebagai imbalan
Inilah ironi sejarah yang mengherankan
Merdeka dari Inggeris dengan perjuangan tidak ringan
Tapi ternyata rasis dan imperialis juga belakangan [Fidel Castro (BBC Online)] Adalah Cuba, pulau sebesar
telapak tangan
Jarak dari ujung Florida sepelemparan bola tangan
Diengkuk-engkuk dan ditekuk-tekuk tidak mempan
Ditunjuk-ajari pelajaran demokrasi tidak sudi
Dicekik leher ekonominya masih bernafas saja
Dicoba bunuh presidennya tak mati-mati juga
Lihatlah Fidel Castro itu kini
Tetap saja tampan dan tegak, di senja umurnya ini 3 Kini kita menyeberang samudera tiba di Vietnam Utara
Ketika Presiden Lyndon Johnson marah-marah suatu hari
Di Teluk Tonkin kapal perusaknya diganggu patroli
Diperintahkannya pemboman pertama di Vietnam Utara
Agustus bulannya, 1964 tahunnya ''The Rolling Thunder'', ''Guruh Gemuruh''
Itulah nama serangan udara
Yang berlangsung 3 tahun lamanya
Bom bagai badai berhamburan hampir setiap hari
Bom yang dijatuhkan selama tiga tahun itu
Dua kali lipat lebih banyak ketimbang
Bom yang dijatuhkan
Di seluruh front Perang Dunia I dan II Bom yang 7 juta ton itu
Menyebabkan kematian 3 juta manusia Vietnam
Bayangkanlah 3 juta manusia direnggutkan nyawanya
Tiga juta [Pemboman di Saigon, 1965 (History Search Beat)]
Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika? Bukan saja Vietnam Utara, tapi Vietnam Selatan
Juga dihujani badai bom itu
Di negeri itu kawah-kawah menganga
Bertebaran di mana-mana Pada Vietnam, mengapa kita lupa
Padahal selama 11 tahun perang itu,
Berita pemboman dan pembunuhan
Setiap hari masuk di harian dan televisi kita Vietnam jadi laboratorium uji coba macam-macam senjata
Bom napalm, bom Agent Orange, bom Agent Blue yang
Mengunyah daging manusia, mengunyah pepohonan,
Mengunyah dedaunan dan mengunyah hewan-hewan
Di tanah seluas pulau Jawa Di negeri itu ratusan kawah-kawah menganga
Sawah-sawah musnah, pabrik-pabrik hancur
3 juta orang mati dalam masa 11 tahun itu [Pemboman di sebuah Sungai, Vietnam Selatan (History
Search Beat)]
Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika? Pada Vietnam mengapa kita lupa
Alangkah lemah ingatan kita Sesudah Lyndon Johnson, Presiden Nixon marah
Baru 3 bulan jadi Presiden
Diperintahkannya menghujani Kamboja dengan bom
Kemudian 200 pesawat B-52 dikirimnya menghabisi
Haiphong dan Hanoi, Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika? Presiden Amerika adalah presiden dunia
Yang paling sering memberi perintah
Menjatuhkan bom, dan semuanya di luar Amerika Sesudah 11 tahun 179 milyar dollar dihabiskan
Atau 82 juta dollar sehari dibelanjakan
Sesudah 2 juta penduduk sipil Vietnam mati
1 juta tentara Vietnam mati,
60.000 serdadu Amerika mati,
Saigon dikepung ketat dan mereka terbirit-birit lari [Uncle Sam (JayGee 6)] Amerika, negara adikuasa dan
kaya luarbiasa
Bertekuk lutut dikalahkan Vietnam Utara
Negara kecil, miskin dan compang-camping
Dan tidak sekali pun, tidak satu kilogram pun
Menjatuhkan bom di kota Amerika
Sehingga penduduk sipil, kehilangan nyawa 4 Tidak kapok-kapoknya Angkel Sam
Campur tangan orang punya urusan
Tahun 1980-an, yaitu di Nicaragua
Di peta, negara itu sebesar daun telinga
Di Amerika Tengah, 200.000 bermatian
Negeri kecil yang digiling dilumatkan
Mereka ke Mahkamah Dunia mengadukan
Angkel Sam didenda repatriasi dan Nicaragua
dimenangkan
Tapi si Adidaya ini mengabaikan keputusan
Ke Nicaragua balik lagi melakukan penyerangan
Dan ketika si Daun Telinga mengadukan
Ke Dewan Keamanan
Angkel Sam menjatuhkan veto sendirian 5 Kemudian tengoklah Israil luar biasa dimanja Amerika Menindas rakyat, membunuhi perempuan
Menyapu anak-anak intifadah
Tidak apa-apa Mengusir rakyat Palestina ke kemah-kemah di gurun
Membuldozer permukiman
Tidak apa-apa Melanggar puluhan resolusi Dewan Keamanan
Dicerca dikutuk masyarakat dunia
Tidak apa-apa Membuat senjata nuklir
Mengancamkan hulu nuklir
Tidak apa-apa Israil luar biasa dimanja Amerika
Rakyat pembayar pajak Angkel Sam
Tak berdaya mau saja dipaksa
Membiayai subsidi anak manja Israil ini Kami yang jauh ini jadi bertanya-tanya
Israil ini negara bagian Amerika Serikat
Atau Amerika Serikat provinsi Israil
Perdana Menteri Israil ini gubernur negara bagian AS
Atau Presiden Amerika gubernur provinsi Israil?
Pertanyaan ini pisau bermata dua
Amat sulit menjawabnya
Dan sangat mudah menjawabnya. 6 Pengembaraan peta kita tiba di sekitar Eufrat-Tigris
Ketika badai debu mengotori peta
Di negeri Seribu Satu Malam ini
Terdengar gemuruh Seribu Satu Peluru Kendali Inilah kisah yang sangat menjemukan
Karena pengulangan lagi peragaan otot kekuasaan
Bersambung dengan beribu peluru kendali berlayangan
Dan 3000 bom berjatuhan
Malam ini berselimut kegelapan dan kengerian
Berulang sejarah campur tangan, intervensi 1000 alasan
Sejak zaman kulit merah Indian, kulit hitam Afrika,
Hawaii, Filipina, Cuba, Vietnam,
Nicaragua, Amerika Tengah, Palestina
Memaksakan kehendak, mau menang sendiri
Rasis dan imperialis sejati
Sehingga cendekiawan Noam Chomsky
Tak dapat menahan hati
Inilah katanya tentang negerinya sendiri:
''United States, leading terrorist state.'' Aku terkesima membaca tulisannya itu
Padahal aku suka manusianya, Amerika itu
Keluarga Werrbach yang 47 tahun lalu
Mengangkatku jadi anak mereka
Di rumah 977 East Circle Drive
Di desa Whitefish Bay
Di bulan puasa Heino menyediakan sahur untukku
Aku terkenang Tim Hubbard teman sekolahku
Yang menghubungkan aku
Ke ladang mixed farming di tepi Danau Michigan
Sehingga aku ingin jadi pengusaha ladang campuran
Seraya menulis puisi
Sehingga aku belajar kedokteran hewan dan peternakan
Aku cinta manusianya, Amerika itu
Petani, penjaga pompa bensin, oma di rumah jompo,
pemusik jazz, penyair, sopir taksi Chicago, guruku,
Tapi aku tidak suka politik pemerintah pusatnya
Dengan enam helai puisiku ini aku menentang perangnya
Kini tengah aku menulis puisi ini di Utan Kayu
Tepat tengah malam di Basrah, Najaf dan Baghdad,
Terkenang aku pada makam Sayidina Ali,
sufi Abdul Qadir Jailani,
Terkenang aku pada Tardji yang memanjat patung Abu
Nawas di Baghdad, dan kupotret dia
Teringat aku pada Gus Mus yang menerjemah untuk kami
5 penyair Indonesia di festival puisi Iraq tahun itu
Mungkin hotel tempat kami menginap sudah hancur
Mungkin fail puisi kami sudah punah dan musnah
Mungkin rekan kami penyair Iraq ada yang mati sudah
Malam ini bom dan peluru kendali
Ganas dan cerdas, berdesing-desing
Berselimut kegelapan dan kengerian
Ratusan ribu anak-anak dan orangtua mereka
Orang kebanyakan pemegang kartu penduduk biasa
Menunggu diusung dengan tandu
Pada hari keesokan
Ke ruang gawat darurat atau ke kuburan.
Jum'at, 28 Maret 2003.
Catatan: Taufiq Ismail
Di Desa MACASSAR (kawasan Faure), Cape Town, Afrika Selatan, di atas
sebuah bukit berdirilah sebuah bangunan kecil, luasnya 7 x 5 meter,
dengan atap kubah hijau. Dari kejauhan dia tampak seperti masjid. Disinilah Syekh Maulana Yusuf atau Syekh Yusuf, atau Tuan Yusuf, di-
makamkan. Tuan Yusuf mendarat di Afrika Selatan pada 2 April 1494,
berlayar dengan kapal 'De Voetboog' dengan istri, putra-putri, alim-
ulama dan sejumlah pimpinan pasukannya sebanyak 48 orang. Tuan Yusuf
dibuang karena dianggap menggangu kestabilan penjajahan Belanda yang
menjalankan perdagangan imperialistik VOC. Umur beliau waktu itu sudah
68 tahun. Selepas konflik bersenjata sekitar 8 tahun dengan Belanda di Banten,
Tuan Yusuf ditangkap secara khianat pada 1686. Dibawalah dia dengan
kapal dari Cirebon ke Batavia dan ditahan di sana. Takut karena pe-
ngaruhnya yang sangat besar pada rakyat sebagai ulama besar, dia di-
buang ke Ceylon. dari Ceylon dipindahkan pula ke Cape, yang dalam peta
disebut sebagai Tanjung Harapan, tapi tentu lebih tepat disebut Tan-
jung Penindasan. Tanjung itu adalah Tanjung Harapan bagi penjajah Portugis melalui pe-
nemunya Bartholomeus Dias (1487) yang menamainya Cabo da Boa Esperanza,
yang didarati oleh nakhoda VOC Jan van Riebeek pada 6 April 1652. Bagi
Tuan Yusuf, Tuan Guru dan pejuang-pejuang kemerdekaan yang menjalani
pembuangan serta penduduk yang ditindas dipaksa bekerja ke benua sejauh
itu, Tanjung itu patut diganti nama dan adalah Tanjung Penindasan. Rombongan tahanan Tuan Yusuf diasingkan di Zandfliet, dekat False Bay
atau Teluk Palsu. Isolasi ini tidak berhasil karena karisma Tuan Yusuf
menyebar ke kampung-kampung lain. Secara rahasia mereka melaksanakan
ibadah, dan walaupun VOC disamping mengeksploitir tenaga juga gencar
melakukan Kristenisasi dikalangan pekerja-paksa itu, usaha itu tak per-
nah berhasil. Pada waktu itu agama Kristen identik dengan penindasan
Belanda yang sangat mereka benci. Sesudah lima tahun dalam tahanan, Tuan Yusuf wafat pada usia 73 tahun.
Disamping ulama dan pejuang, Tuan Yusuf adalah seorang sufi dan pe-
ngarang. Sufinya dari kelompok Khalwatiyyah. Menurut Suleman Essop
Dengor (tesis MA, Universitas Durban Westville, 1981), sejumlah 15 judul
buku telah ditulis Tuan Yusuf dalam bahasa Arab, Bugis dan Melayu. Dia
menguasai bahasa Arab karena mulai usia 18 tahun sampai usia matang
Tuan Yusuf menuntut ilmu di Makkah. Diduga sebagian dari karya-karya
itu ditulis di Desa Macassar, Afrika Selatan. Buku-buku itu masih ter-
simpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Karena permintaan yang kuat dari Raja Goa Abdul Jalil, akhirnya Belanda
menyetujui pemindahan jenazah Tuan Guru ke Goa. Penjemputan tiba 5 April
1705 dan keesokannya dilaksanakan penguburannya di Lakiung, Sulawesi
Selatan. Dalam setiap percakapan dengan orang Muslim Cape tentang Tuan Yusuf, me-
reka selalu bertanya apakah benar ada kubur Tuan Yusuf di Indonesia. Me-
reka tidak yakin bahwa jenazah tersebut sudah dipindahkan. Ziarah kubur
wali-wali atau yang disebut Keramat yang berjumlah 7 buah, berfrekuensi
tinggi di Cape Town. Demikianlah total isolasi itu. Saya pun menjelaskan
berkali-kali. Penghormatan pada Tuan Yusuf tidak saja dari kaum Muslimin Melayu, tapi
juga dari kaum Muslimin seluruh Afrika Selatan. Dalam literatur tentang
Islam di Afrika Selatan, Tuan Yusuf selalu disebut "yang pertama-tama
menanamkan akar Islam di bagian benua ini." Pertama saya membaca karangan orang Indonesia yang pernah ziarah ke kubur
Tuan Yusuf ini adalah tulisan Renville Almatsir 19 tahun lalu dalam Inti-
sari, 1974. Saya terkesan dan selalu ingat pada laporan Renville, dan
sering bertanya pada diri sendiri bisakah saya pada suatu waktu berziarah
ke Desa Macassar dekat Tanjung Penindasan itu. Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama Tuan Yusuf, dan
memandang bekas tumpuk bumi yang pernah menating jenazahnya. Kemudian
lihatlah saya keluar bangunan itu, pergi ke-4 kuburan dengan nisan ber-
jajar, tidak diberi nama tapi diukir dengan kaligrafi Asmaul Husna. Di
situ berkubur 4 orang dari rombongan tahanan, mungkin ulama, mungkin juga
komandan pasukan Tuan Yusuf, berasal dari Bugis atau Banten. Kemudian bayangkanlah sebuah meriam bercat hitam, menunjuk ke cakrawala
langit Afrika. Kemudian ikutilah saya mengingat-ingat jalan pertempuran
yang dipimpin Tuan Yusuf bertahun-tahun di Banten. Angin bertiup waktu itu, mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman
diujung tanjung, mungkin juga angin dari Kutub Selatan. Lihatlah dedaunan
musim rontok pada pepohonan mengitari teluk, yang bermerahan berganti
warna. Kemudian bayangkanlah Tuan Yusuf, seorang sufi yang cendekia, zikir mem-
bungkus tubuhnya, karangan-karangan mengalir malalui kalam terbuat dari
sembilu bambu dengan dawat berwarna hitam dan merah menjadi 15 buku da-
lam 3 bahasa, seorang lelaki yang cendekia dan berani. Lantas fantasikan tulang-tulang seorang pemberani tersusun dalam peti
berlayar 11.000 lebih kilometer lewat dua samudera, suara angin dari
barat menampar-nampar tujuh layar, dipesisir Sulawesi buang jangkar, lalu
orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat ke dalam
bumi tempat ibunya Aminah dahulu melahirkannya. Wahai, sukar bagiku mereka-reka garis-garis wajahmu ya Syekh karena rupa
tuan tidak direkam dalam fotografi hari ini, tidak juga dibuat lukisan
pesanan pemerintah dalam potret cat akrilik lima warna. Namun kubayangkan
sajalah kira-kira wajah seorang tua yang ikhlas, berjanggut tipis, ber-
suara dalam, bertubuh langsing dan fasih berbahasa Bugis, Arab dan Melayu. Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan. Dan sebenarnya, dilubuk
hati Gubernur dan manajer-manajer maskapi dagang VOC yang gemar menyalakan
meriam dan mesiu itu, mereka kagum pada Tuan. Tapi mereka mesti membuang
Tuan sebelas ribu kilometer ke benua ini karena mereka tak mau tergaduh
dalam pengumpulan uang emas disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari
kayu jati. Aku pernah baca kutipan catatan mereka. Apa format dan inti
keikhlasan dan keberanianmu, ya Syekh? Perhatikan kini kabut meluncur cepat dari Bukit Meja yang memandang dua
samudera. Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata, kau merdeka
hari ini karena tiga abad yang lalu Syekh Yusuf telah membabat hutan rotan
dan menyibakkan ilalang berduri untukmu. Aku mendengar zikir mengalir le-
wat sembilan burung camar yang sayapnya seperti berombak bernyanyi. Lihatlah dua tetes air hangat mengalir dari tepi mataku.
AL-FATIHAH
CAPE TOWN, 16 April 1993
Catatan Perjalanan Taufiq Ismail Bepergian ke benua yang satu ini, di bagian selatannya, memang
mendebarkan hati. Ada dua alasan utamanya. Pertama, hubungan yang
terjalin antara Indonesia dan Afrika Selatan sejak pertengahan
abad ke-17. Muslim pertama yang menjejakkan kaki di Cape adalah
seorang yang bernama Ibrahim, dan karena dia didatangkan dari
Jakarta, dalam catatan Belanda terdaftar sebagai Ibrahim van Bata-
via. Dialah yang diketahui orang pertama dalam rombongan kerja-
paksa yang diorganisasikan VOC. Dan itu terjadi pada tahun 1652. Syekh Maulana Yusuf (di Sulawesi Selatan dikenal sebagai Syekh
Yusuf) mendarat dengan kapal De Voetboog di Cape sebagai tawanan
Belanda pada 2 April 1694, pada usia 68 tahun. Pejuang kemerdekaan
ini lahir di Goa, Sulawesi Selatan, sebagai keturunan raja Goa,
baik dari pihak ayah dan juga dari pihak ibunya. Yusuf menuntut
ilmu di Makkah mulai umur 18 tahun, disayangi oleh gurunya karena
pintar dan pulang dalam usia matang serta dikenal kesalehan dan
kecerdasannya. Tapi dia tidak balik ke kampung halamannya. Dia
mengajar di Banten, dan salah satu muridnya adalah Sultan Agung.
Dia menikah dengan (ada dua versi) anak atau adik Sultan Agung. Dalam perang melawan Belanda, dia menjadi pemimpin yang terkenal
keberaniannya. Dia ditangkap secara licik, kemudian dibuang ke
Afrika Selatan bersama 48 orang lainnya, termasuk isteri, putera-
puteri, dan anak buahnya tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lainnya.
Semua mereka meninggal di rantau jauh ini, di sebuah kampung di
kaki bukit yang diberi nama Macassar, terletak beberapa kilometer
di luar kota Cape Town. Seorang pejuang kemerdekaan lainnya yang terbuang ke benua ini
adalah Imam Abdullah Ibn Kadi Abdussalam. Dia keturunan atau bahkan
mungkin Raja Tidore dari kepulauan Ternate. Ditangkap setelah ber-
tempur melawan Belanda, Imam Abdullah dibuang ke Afrika Selatan,
mendarat di Cape pada 6 April 1780. Dia disekap bertahun-tahun di
pulau Robben (tempat Nelson Mandela dipenjarakan 2 abad kemudian),
diseberang Cape Town sekarang. Tanpa buku, tanpa catatan, Imam Abdullah menulis mushaf Quran dari
ingatan dalam tahanan. Beliau memang *hafids*, hafal Quran. Sebuah
buku *Marifatul Islami wal Imani* dikarangnya pula ketika ditahan
itu. Selepas ditahan, dia diperbolehkan pulang ke Ternate, tapi dia
memilih menetap di Cape Town karena merasa terpanggil menyebarkan
Islam di bagian benua ini. Dialah pelopor penyebaran Islam lewat
pendidikan di Afrika Selatan, mulai abad ke-18. Beliau terkenal
dengan panggilan Tuan Guru. Keturunan Syekh Yusuf, Tuan Guru, pejuang-pejuang kemerdekaan yang
dibuang Belanda dan mereka yang ditangkap sebagai budak dan ter-
paksa bekerja dibelahan bumi ini, itulah yang kini menjadi masyarakat
Muslim di Cape Town dan sekitarnya. Mereka dikenal dengan nama
*Malay Muslim*. Mereka berjumlah sekitar 150.000 orang. Terpisah karena jarak begitu jauh, waktu 3 abad, dan kini karena
politik *apartheid*, kita di Indonesia sayup-sayup saja mengingat
mereka ini. Bahkan kita sering lupa, atau malahan tidak tahu. Melalui
kesempatan seminar Budaya Melayu ini (19-26 April 1993), alhamdu-
lillah, bersama dengan delegasi Malaysia sejumlah 55 orang saya ber-
temu mereka. Rekan Indonesia lainnya adalah Prof. Dr. Darwis Sulaiman
dari Unsyiah, Banda Aceh. Sambutan luar biasa hangat! Banyak yang
menangis bayangkanlah berpisah 3 abad ... Menjelang berangkat, di Kuala Lumpur saya tulis sebuah sajak untuk
mereka. Sampai artikel ini ditulis, sudah tiga kali saya bacakan
puisi "Tanjung" itu di Cape Town, pada tanggal 21 dan 22 April.
Pertama di Universitas Capetown, kedua di Masjid Zinatul Islam se-
belum shalat Jumat dan yang ketiga kalinya dalam *Cultural Evening*
di Claremont Civic Center. Puisi ini dibacakan yang asli berikut
terjemahan Inggerisnya. Berikut ini puisi tersebut. T A N J U N G kepada saudara-saudaraku di Cape
hilang berabad, demikian lamanya
Apa arti Afrika bagiku, begitu aku bertanya sendiri
Suatu malam pada minggu ketiga Syawal ini
Langit jernih dan bulan sabit di atas Desa Pandan
Apa makna Afrika kawasan selatan bagiku dalam perjalanan
Aku bersimpuh sunyi di lantai masjid Kampung Pandan
Kipas angin telah berhenti berputar dan panas terasa menekan
Penerbangan diatas benua yang mendebarkan
Ada hutan raksasa dan ada sayup-sayup savanna
Ada hippo, ada rhino lalu kawanan burung flamingo
Gundukan keping emas debu intan tanah menyilaukan bumi
Dan kulihat darah bersemburan disela-selanya
Lalu gemuruh kaki berlari, tambur berdentuman
Kudengar deru angin barat pada layar yang berkibar
Kapal dari Tanah Rendah di Tanjung turun jangkar
Vereenigde Oost-Indische Compagnie. VOC.
Kudengar hyena dan wildebeest meraung di belantara luas
Kulihat darah berserakan di atas logam dan batu-batuan
Kudengar bunyi angin timur pada layar yang berkibar
Kapal dari khatulistiwa di Tanjung turun jangkar
Turunlan Syekh Maulana Yusuf di benua selatan
Lelaki pemberani yang menjalani pembuangan
Pemikir dalam sunyi yang mengguratkan tulisan
Ditakuti ketika memimpin pertempuran
Ditakuti ketika sudah jadi tulang-belulang
Ya Syekh, apa gerangan gumam zikirmu
Yang sepanjang butir tasbihmu gemerlapan
Ada hyena dan wildebeest meraung dibelantara luas
Ada ceceran darah, bertabur, kering dan basah
Tibalah Tuan Guru dari pulau sangat jauhnya
Lelaki pejuang yang menjalani pembuangan
Di dalam ingatannya tersimpan 30 juz Al-Quran
Dari jemarinya mengalir makrifah sebagai tulisan
Simak muridnya di madrasah Dorp Street bernyanyi:
Alief dettis a, alief bouwa ie, alief deppan oe
a, ie,oe
Bah dettis bah, bah baouwa bieh, bah dappan boeh
bah, bieh, boeh
Ta dettis ta, ta bouwa tie, ta dappan toe
ta, tie, toe ...
Wahai Tuan Guru, apa gerangan wirid zikirmu
Senjata rahasia di benua buangan sejauh ini
Bersama rombongan orang seperjalanan ini
Beribu-ribu, berperahu, menyandang takdir misteri
Melata terbungkuk, menyeret berat logam belenggu
Ditiup angin timur ke benua ini
Samudera yang menghanyutkan nasib
Lewat abad-abad gemuruh dengan cakar yang perih
Kudengar raungan hyena dan wildebeest dibelantara
Kulihat bercak merah, berserak dan basah CAPE TOWN, 24 April 1993
Cipt : Taufiq Ismail 1966
diambil dari buku Tirani dan Benteng (Yayasan Ananda, Jakarta, 1993, halaman 113)
Tidak ada pilihan lain Kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran "Duli Tuanku ?"
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
Cipt : Taufiq Ismail 1971
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat, Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat, Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco, Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari, Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop, Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra, Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika, Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu, Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara ternak sebagai pengganti Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
lakukan yg terbaik menurutmu.....